A. Konteks Sosial Politik
Strukturalisme
Levi-Strauss dapat diidentifikasi dari kegiatan penelitiannya di Brasil ketika meneliti
kelompok-kelompok suku Indian
di Amerika Selatan. Penelitian tersebut dilakukan
pada tahun 1934. Alasan utama Levi-Strauss melakukan penelitiannya ke Brasil
adalah karena kondisi di Eropa yg
penuh kekacauan akibat Perang
Dunia 1 dan juga terkena dampak krisis besar. Setelah perang mereda,
Levi-Strauss kembali lagi ke Prancis
dan melakukan aktivitas yg sama yakni meneliti dan mengajar di universitas. Ketika
Perang Dunia 2 meletus, Levi-Strauss pindah lagi
dari Prancis tapi
ketika itu menujju Amerika
Serikat, tepatnya di New York. Aktivitas
yg dilakukan tetap sama. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa
konteks sosial politik utama yg mendasari teori
struktursalisme Levi-Strauss adalah kekacauan kondisi sosial politik
akibat perang dunia.
Sebagaimana
kebanyakan para pemikir sebelumnya, kondisi masyarakat yg harusnya mendorong Levi—Strauss memikirkan kondisi
masyarakat yg ideal. Meskipun tidak setegas Durkheim pendahulunya, Levi-Strauss
merupakan pemikir visioner yg menghendaki suatu tatanan sosial baru. Menurut Badcock
(2008), dalam bab pembuka karyanya
Elementary of
Strucktur of Kinship dinyatakan bahwa
apa yg dibutuhkan adalah faktor
sosial yg menunjukan sifat budaya yg esensial, yaitu bahwa ia seharusnya
arbriter,tetapi juga memperlihatkan tanda alam yg berkarakteristik, yaitu apa
yg seharusnya perlu. Alam menjadi suatu
yg umum dan menjadi
berkat turunan, sedangkan budaya
bersifat berkemungkinan dan arbriter.
Sekalipun
demikian, menurut Levi-Strauss, latar belakang pribadi seorang teoritisi tidak
relevan untuk dijadikan petunjuk mengidentifikasi problem-problem tertentu yg
diangkat dan pendekatan yang digunakan teoritisi tersebut dalam mengungkap kebenaran.
Strukturalisme menurutnya mempunyai pandangan yg sangat berbeda dalam kaitannya
dengan apa yg melandasi pendekatan
ilmiah dalam studi tentang masyarakat (Crick
2008).
A.
Fenomena
Sosial yang Melahirkan Teori
Fenomena
sosial utama yang terjadi pada masa-masa
awal karier Levi-Strauss adalah kondisi sosial ekonomi yang kurang
menguntungkan sebagai dampak langsung depresi ekonomi yg terjadi pada 1930-an.
Pada saat itu Banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja, kriminalitas, dan
radikalisasi politik
massa. Selain itu,
pada umumnya di Eropa
dan Prancis juga sedang terjadi kekacauan kelas
penguasa, perpecahan negara gereja, dan kebangkitan politik anti-semitisme. Perang Dunia 1 yg terjadi saat hampir bersamaan,
menambah intensitas kekacauan.
Kondisi sosial ekonomi yg demikian inilah yg turut mendorong Levi-Strauss tertarik
untuk melakukan penelitiannya di Brasil
pada tahun 1934.
Kondisi
yang
kurang lebih serupa terjadi lagi pada tahun 1940-an, dimana pada saat itu
terjadi Perang Dunia 2. Fenomena global yg terjadi pada masa ini adalah munculnya negara-negara
baru bekas jajahan yg memperoleh kemerdekaan setelah selesainya perang. Runtuhnya imperialisme membawa dampak
perubahan struktur pemikir
sosial di negara-negara penjajah termasuk Prancis. Kelas elit yg dulunya memiliki
kekuasaan dan kekayaan yg berlimpah, dalam waktu yg relatif sinngkat mengalami
penurunan status. Kekacauan yg seperti inilah yang mendorong Levi-Strauss pindah ke Amerika Serikat. Berdasarkan kedua peristiwa
tersebut dapat dikatakan bahwa, tampaknya Levi-Strauss tidak senang dengan
situasi sosial yg penuh dg kekacauan.
Sebagai
seorang keturunan
Yahudi, Levi-Strauss merasa terancam
jiwanyya ketika di Prancis
dan di banyak negara Eropa
lainnnya tumbuh gerakan politik antisemitisme. Oleh karena itu, ia merasa
sangat berterimakasih kepada
pihak sponsor yang membiayainya untuk melakukan penelitian lapang
di Brasil pada tahun 1934. Kondisi yg penuh dengan kekacauan merupakan satu hal
yang
sangat di benci Levi-Strauss. Levi-Strauss
menghendaki kondisi masyarakat yg serba tertib dan teratur(order), dan
keinginan ini tercermin dalam teorinya tentang strukturalisme. Dalam teorinya,
ia menegasi arti penting “subjek” dalam masyarakat, karena otonomi subjek yang terlalu besarlah yang menndorong kekacauan.
B.
Pemikiran
Politik dan Teori Sosial yg Mempengaruhi
Dalam
karya awalnya, Trites Tropiques(1955), Levi-Strauss menyebutkan bahwa dia
memiliki tiga guru utama: Freud, Marx, dan
Geologi (Crick 2008). Pandangan umum mengenai ketiga gurunya adalah bahwa apa yang
tampak dari suatu fenomena bisa sangat menipu dan realitas harus ditemukan di
balik fenomena yg tampak tersebut. Seperti
halnya ketidaksadaran dalam mekanisme mental menjadi alasan bagi tindakan-tinndakan yg mungkin
tidak disadari. Demikian pula strata geologis bisa menjelaskan berbagai perbedaan
wujud vegetasi. Tatanan dasar tekno ekonomi mempengaruhi pola –pola nilai dan
ideologi. Pandangan strukturalisme mendasarkan pada ketiga pemikiran tersebut dan Levi-Strauss menyatakan bahwa
wilayah yang
sesungguhnya ilmiah terletak dibalik persepsi manusia yang lazim.
Dalam
menganalisis budaya sebagai pesan, Levi-strauss menggunakan analisis marxisme
konvensional dengan melihat masyarakat
sebagai hasil dari pertentangan hubungan-hubungan material sehingga berguna
untuk menangani isu perubahan sosial. Pendekatan strukturalis dalam hal ini
hanya berhubungan dengan isu-isu suprastruktur yang memungkinkannya direduksi menjadi dasar materialistis
dalam fisiologi pemikiran. Sebaliknya, meskipun menyediakan penjelasan reduktif
tentang perubahan sosial, pendekatan marxis hanya diterapkan pada insfratruktur
karena tidak bisa memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan yang cukup
berbeda mengenai proses-proses penstrukturan dari suprastruktur-suprastruktur
ideologis semacam (Badcock,2008). Jadi dengan demikian pengaruh marxs terhadap Levi-Strauss terletak pada penggunaan metode
dialektika dalam menganalisis perubahan sosial, konflik, dan sebab-sebab akhir
dari kode -kode
budaya.
Sementara
itu karya-karya Levi-Strauss dalam beberapa hal memiliki
kesamaan dengan karya Freud. Karya Strauss yang berjudul elementary structure of kinship,totemism,
dan The savage mind mempunyai
kemiripan dengan karya Freud
yang berjudul totem and taboo, serta mitologi pada hahikatnya seperti the interpretation of dream-nya Freud yang dituangkan kembali dalam
sebuah model strukturalis. Dalam totem
dan taboo , Freud
menyatakan bahwa totemisme dicirikan pemujaan ritual totem yang ditabukan dan
dengan sebuah sistem dari klan-klan
eksogamus. Tujuan dari klan-klan tersebut adalah mencegah pergesekan hukum yang
melarang perkawinan sedarah. Totem bagi Freud
adalah phobia binatang kolektif yang mempresentasikan ayah pertama terhadap
siapa anak-anaknya memberontak karena dominasi totalnya dari “ibu”. Totemisme ,
karenanya merupakan kesejajaran yang dekat dengan psikologi kelompok untuk
phobia-phobia binatang yang umumnya ditemukan dikalangan anak-anak muda
(Badcock,2008).
Dengan
demikian , totemisme dan eksogami bagi Freud
merupakan cara masyarakat untuk menghindari perkawinan sedarah sekaligus
konflik-konflik oedipal yang menyertainya. Larangan ini pada mulanya merupakan
keinginan ayah agar anak laki-lakinya tidak merebut posisi sekarang. Di sisi
lain, menurut Levi-Strauss , eksogami eksis bukan karena
manusia ingin menghindari perkawinan sedarah,tetapi lebih karena manusia ingin
bertukar saudara perempuan.
Pemikiran
atau teori-teori sosial Levi-Strauss juga dipengaruhi oleh tokoh lain
yakni linguistik swiss , Ferdinand de Saussure
( 1857-1913). Konsep-konsep Saussure
yang sangat mempengaruhi Levi-Strauss antara lain: pembedaan antara signifiant dan signife, lantas langage, parole dan langue, dan akhirnya sinkroni dan diakroni. Perbedaan antara significant dan signife dalam Bahasa
Indonesia barang kali dapat disamakan dengan “penanda”
dan “yang ditandai” menurut Al-Fayyad (2009). Penanda merupakan kesan bunyi yang dapat
diimajinasikan dari mulut penutur,sedangkan “yang ditandai” atau tinanda adalah
konsep yang ditunjuk oleh penanda, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara mental di
dalam pikiran penutur.
Perbedaan
ini dapat kita contohkan ketika kita menuliskan kata “kucing” misalnya, maka yang muncul dalam imaji mental kita
adalah hewan berkaki empat. Imaji yang muncul inilah yang disebut petanda, sedangkan kata kucing itu sendiri adalah
penanda. Secara bersama-sama
membentuk “tanda” yang tak dapat dipisahkan satu sama lainya. Tidak jarang
dikesankan bahwa kita mencari kata-kata bagi konsep-konsep yang sudah ada dalam
pikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Padahal,
makna tidak dapat dilepaskan dari kata. Tapi Saussure berpendapat bahwa relasi antara
keduanya adalah arbritrer.
Pengaruh
Saussure pada pemikiran Levi-Strauss dalam konteks ini terlihat dari
gagasan Levi-Strauss mengenai sistem tanda. Penggunaan seperangkat alat yang ada
untuk perbaikan tujuan-tujuan yang baru disebut Levi-Strauss sebagai bricolage, yang merupakan aspek penting pemikiran primitif. Totemisme
dalam hal ini merupakan contoh terpenting dari bricolege otak, sehingga dapat dikatakan totemisme merupakan sistem
pemikiran.
Contoh sederhana
yang dapat menjelaskan konsep ini adalah sistem tanda yang digunakan manusia
untuk mengatur lalu lintas. Lampu lalu lintas yang dipakai untuk mengatur hal
tersebut berwarna merah,kuning,hijau yang masing masing menandakan aturan
aturan yang ditentukan. Menurut Leach
(1973), warna merah secara konsisten merupakan tanda bahaya yang juga dipakai
untuk menunjukan hal-hal lain seperti “kran berisi air panas”. Pola ini sama
untuk hampir semua masyarakat, dan pada kasus yang lain warna merah seringkali
sangat eksplisit dipahami sebagai “bahaya” dan hal itu merupakan derivasi dari
konsep darah.
D.
Latar Belakang dan social
Tokoh sentral
strukturalisme dan juga tokoh antropologi structural ini lahir pada tanggal 28
november 1908 di Brussel ( Belgia ) dari
keluarga Yahudi. Sejak kecil pindah ke Perancis dan menyelesaikan studi
filsafat di Unversitas Sorbonne pada tahun 1931. Bidang filsafat sebenarnya
adalah bidang yang tidak di sukainya. Selama belajar di Perancis dia berkenalan
dengan beberapa sosiolog Perancis seperti Comte, Durkheim, Marcelmauss.
Pemerintah Perancis memberinya kesempatan untuk melawat ke Brazil guna
melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok suku di Amerika Selatan
sekaligus mengajar sosiologi di Universitas Sao Paulo. Pusat perhatianya
tertuju pada masalah antropologi structural sejak kepindahanya di Brazil ini.
Tahun 1938, Levi-Strauss
kembali lagi ke Perancis. Kondisi Eropa
yang kacau akibat perang memaksanya pindah ke Amerika antara tahun 1942-1945, melakukan
aktivitas sebagai pengajar dan menjadi professor di New School For Social Research ( New York). Selain itu juga menjadi
atase kebudayaan di Washington. Sejak saat itu Levi-Strauss di kenal dengan Jakobson, Ahli linguisik dan pemikiranya
mulai terpengaruh lingustik struktral. Pada tahun 1950 dia menjadi direktur
studi pada Ecole Practique Deshautess
Etudes. Tahun 1959, Levi-Strauss
di kukuhkan sebagai professor daan menjabat sebagai ketua antropologi
social pada College Di France. Tahun 1973 dia di angkat sebagai anggota Akademik Perancis. Levi-Strauss mendapat beberapa penghargaan
akademik seperti di Inggris, Amerika, Belgia Dan Belanda.
E.
Pertanyaan Teoritis Yang Diajukan
Secara
umum pertanyaan teoritis yang diajukan Levi-Strauss dapat dibagi menjadi tiga.
Pertama, pertanyaan tentang asal usul historis atas fakta – fakta social dan
pertanyaan fakta social terpenting
sebagai mana Levi-Strauss
menyebutnya “budaya” , sedangkan Durkheim menyebutnya sebagai suara hati
kolektif. Kedua, pertanyaan strukural atau asal usul logis dari fakta social
atau kontroversi individualism versus holism. Ketiga, petanyaan tentang
perubahan social dan akomodasinya dalam Durkheimisme atau sistem penjelasan
fungsionalis (yaitu, sistem penjelasan yang menekankan consensus dan
keseluruhan social. Dua pertanyaan pertama dapat ditemukan jawabanya pada karya
Levi-Strauss yang
berjudul Totemism, The
Savage Mind, dan Elwmentary
Structures of Kinship (Badcook,2008).
Sementara itu, dalam
karyanya yang berjudul
structural anthropology
(1958) kita menemukan gagasan Levi-Strauss
bahwa bahasa adalah piranti utama dalam menguraikan realitas kultural. Beberapa pertanyaan yang diajukan
berkaitan dengan hal ini antara lain adalah sebagai berikut :
·
Apakah ini berarti bahwa masyarakat
dapat dianggap sebagai bahasa?
·
Apakah berarti ada sejumlah kaitan
antara suatu kultur dengan bahasanya?
·
Apakah berarti model-model linguistic
yang rinci dapat dipakai dalam analisis fenomenal cultural?
Selama tahun 1940-1950,
Levi-Strauss
mengerahkan perhatianya pada masalah-masalah tersebut. Konsepsi semiologi yang
digagas Saussure pada awal abad-20, mewarnai pemikiran Levi-strauss dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan. Begitu kuat pengaruh Saussure tersebut hingga
Levi-Strauss
mengatakan bahwa antropologi merupakan cabang semiotika yang menganalisis
sistem tanda-tanda cultural sifat bahasa yang berulang dan juga melalui
generalisasi sistem social tidak dapat dipahami kecuali kita memahami pula
bahwa cara-cara yang digunakan untuk memproduksi
sistem semacam itu memuat benih-benih perubahan didalam dirinya.
F.
Jenis penjelasan yang di berikan
Jenis penjelasan yang
di gunakan Levi-Strauss
dalam hal ini adalah penjelasan historis. Beberapa bukti yang memperkuat
argument ini dapat di rinci sebagai berikut.
a)
Ferdinand De Saussure sering di pandang
sebagai bapak linguistik modern. Tokoh ini mempunyai pengaruh terhadap Levi-Strauss, pernah menyatakan bahwa kita
hanya bisa mengerti suatu masyarakat dengan memperhatikan hubungan- hubungan
yang berbeda antara bagian-bagian yang berbeda dari
bahasa. Usaha untuk memahami sesuatu dengan memperhatikan sejarahnya yang telah
di juluki “historis” dan setelah kata “empiris”, historis merupakan kata yang
paling kotor dalam perbendaharaan strukturalis (Craib,1986) .
b)
Dalam karyanya yang berjudul Elementary
School Of Kinship, Levi-Strauss meneliti di balik segala detail
peraturan mengenai perkawinan dan kekerabatan yang pelik yang berasal dari
ratusan masyarakat. Dari penelitiannya
tersebut di peroleh sejumlah kaidah logis sederhana yang dengannya kita dapat memahami keseluruhannya.
Dengan demikian, Levi-Strauss
melacak kembali sejarah manusia melalui tanda-tanda cultural sehingga dapat di
identifikasi struktur dan sistem sosial
yang berlaku pada masayarakat teersebut. Menurut Badcock (2008) penjelasan
Levi-Strauss pada Elementary School Of Kinship, sebagai
penjelasan reduktif bentuk
penjelasan yang dapat
mereduksi fenomena social menjadi pengaturan kembali pertukaran tetapi juga
menjadi reduksi historis, teori tentang revolusi masyarakat melalui sejarah dan
lebih khusus sebagai teori evolusi masyarakat dari zaman binatang bukan
manusia. Dalam
karyanya ini Levi-Strauss
menduga bahawa suku aborigin sebagai yang paling primitive dari sebagian besar
masyarakat lain,
paling tidak dari sudut pandang teknologi dan budaya. Berdasarkan hal ini akan
aman jika berasumsi bahwa mereka juga paling primitive dilihat dari sudut pandang agama.
c)
Dalam karyanya yang berjudul Totemism, Levi-Strauss mencoba memberikan penjelasan
atas berbagai pertanyaan yang diajukan para ahli antropologi pada abad 19.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksut misalnya : mengapa sejumlah suku liar
menyatakan dirinnya bahwa bahwa dirinya adalah burung beo? Mengapa sejumlah
klan menggunakan nama binatang? Banyak penjelasan yang telah dikemukakan, namun
bagi Levi-Strauss,
Totemism hanyalah contoh dari apa yang disebut sebagai “logika konkrit” oleh
pikiran manusia untuk mengontruksi sistem-sistem signifikansi. Secara internal
masyarakat senantiasa tebagi-bagi entah dalam bentuk klan-klan atau satu yang
lain, dan perbedaan dengan binatang merupakan imaji tentang heterogenitas yang
sempurna telah disediakan alam. Wilayah alamiah dengan demikian menyediakan
kode sempurna untuk membuat penamaan dalam divisi social. Spesies binatang
dipilih, menurut Levi-strauss bukan karena “enak dimakan, tetapi karena” gampang dipikirkan (Crick, 2005).
d)
Levi-strauss memiliki kemiripan dengan
Sigmund Freud
dalam menganalisis suatu fenomena. Jika Freud menggunakan sistem symbol mimpi
untuk merekonstruksi secara individu, ambisi strukturalis adalah untuk
menafsirkan sistem symbol dalam mistos agar dapat merekonstruksi sejarah budaya.
Untuk mencapai tujuan, Levi-Strauss
menggunakan alusi singkat freud pada “dua trauma” mitos personal dan universal.
Freud menyatakan bahwa “seorang anak tidak dapat menyelesaikan perkembangan
sampai pada tahap beradab tanpa melewati masa neurosis (mitos neuritik
individu) . . . yang kemudian diatasi secara sepontan (atau melalui
psikoanalisis) …dengan cara yang sama, orang bisa berasumsi bahwa kemanusiaan
secara keseluruhan, dalam perkembangan yang cukup lama, sampai pada situasi
yang analog dengan neorisis tersebut… menimbulkan proses yang mirip dengan
represi . Residu
proses yang mirip dengan represi tesebut, yang terjadi ratusan yang lalu, memiliki keterkaitan serta dengan peradapan …. Agama kemudian
menjadi neorosis kemanusiaan universal (Kruzweil, 2004).
e)
Levi-strauss menafsirkan tradisi lisan
dalam masyarakat primitive sebagai satu model historis. Bagi dia sejarah
direkonstruksikan setiap kali mitos disampaikan ulang atau ketika masa lalu
dikumpulakan lagi. Sejarah bukan merupakan suatu rangakaian peristiwa “objektif” yang terkait dengan era tertentu,
namun dia ada didalam pertautan struktur mental yang terjadi pada satu “momen”
tertentu. Dan menjadikan masa lalu sebagai bagian dari masa kini, teori Levi-Strauss memotong teori konvensional tentang
kemajuan evolusi (Kruzweil,2004).
Berdasarkan
uraian pada enam poin diatas, tampak jelas bahwa Levi-Strauss
dalam menjelaskan berbagai manusia sosial budaya yang menjadikan objek kajianya
menggunakan model penjelasan historis atau diakronik. Meskipun ia bukanlah
seorang sejarawan namun dalam beberapa hal menggunakan prinsip—prinsip analisis
historis dalam menjelaskan suatu permasalahan. Dalam hal ini jelas bahwa apa
yang terjadi pada saat itu di suaatu masyarakat tidak dapat di lepaskan dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Tugas seorang antropolog dan
juga seorang etnografer dalam hal ini adalah merekonstruksinya kembali tahapan-tahapan sejarah yang terjadi
pada masa lalu.
G.
Kata-Kata Kunci
Paradigma strukturalis dalam antropologis
menyatakan bahwa struktur proses pemikiran manusia sama pada budaya dan proses
mental ini berada pada proses oposisi biner seperti halnya panas/dingin,
pria/wanita, kultur/nature, mentah/matang dll.
Kaum strukturalis berpendapat bahwa
oposisi biner tersebut direfleksikan di berbagai institusi budaya. Antropolog
menemukan dasar proses di berbagai pemikiran terebut dengan menguji beberapa
hal seperti kekerabatan , mitos,
dan bahasa. Hal
itu kemudian di proposisikan
bahwa suatu relitas
tersembunyi tetap bertahan di balik segala ekspresi budaya. Tujuan kaum
structuralis adalah memahami makna yang terkandung dalam pemikiran manusia yang
di eksresikan dalam tindakan budaya.
Selanjutnya
pendekatan teoritis yang di tawarkan kaum strukturalis adalah bahwa unsur-unsur
budaya
harus di pahami dalam terminologi
hubungan-hubungannya dengan keseluruhan sistem. Poin ini menunjukan bahwa
keseluruhan lebih besar bahwa dari pada bagian sebagaimana di anut oleh aliran
psikologi Gestalt. Esensinya, elemen-elemen budaya tidak dapat di jelaskan dalam dan oleh dirinya sendiri, melainkan
hal itu merupakan
sebagian dari keseluruhan sistem yan penuh makna. Sebagai sebuah model analisis, strukturalisme mempunyai asumsi
bahwa universalitas proses pemikiran manusia dipakai untuk menjelaskan “ struktur dalam
”(deepstruktur) atau makna yang menjadi dasar fenomena budaya. Strukturaalisme
adalah seperangkat prinsip untuk memahami super struktur mental.
Pengaruh
roman Jacobson terhadap teori-teori Levi-Strauss
sebagaimana telah di uraikan pada bagian terdahulu sangat kuat. Perdesakan
thesis-thesis yang telah di bangun oleh Jacobson, Levi-Strauss membuat asumsi bahwa “moda-moda
ekspresi budaya lain selain bahasa sperti sistem kekerabatan,taksonomi, cerita rakyat,
mitos dan sebagainya
yang telah terorganisasi sebagai mana bahasa”. Thesis Jacobson yang di pakai
Levi-Strauss dalam memulai karyanya adalah bahwa “dalam semua bahasa di dunia
terdapat sistem oposisi kompleks antar fenom, yang tidak lebih dari elaborasi
multi arah dari sistem yang lebih sederhana yang dikenal semua orang, yakni
kontras antara vokal dan konsonan, melalui bekerjanya oposisi ganda antara
kelompok dan menyebar , halus/lembut dan melengking, bunyi hidung atau mulut
dan seterusnya. Sejak kecil anak-anak telah belajar membedakan baik vokal
maupun konsonan berdasarkan keras-lembutnya suara (loudness). Jacobson menyebut
taksonomi ini dengan “segitiga vokal” di satu sisi dan “segitiga konsonan” di
sisi lain, seperti tampak dalam gambar berikut (Leach, 1973).
a
|
i
|
u
|
k
|
t
|
p
|
Jika
kedua pola tersebut disatukan maka akan membentuk pola baru seperti berikut.
LEMBUT
|
NYARING
|
(Frekwensi
rendah)
(Frekwensi tinggi)
|
a(k)
|
i(t)
|
u(p)
|
PADAT
|
MENYEBAR
|
(Energi bunyi)
Dengan
pola yang sama,
Levi-Strauss menggunakannya untuk menganalisis pola kuliner masyarakat, i mana
hasilnya adalah “segitiga kuliner”. Makanan yang dimasak dapat berasal dari
makanan mentah segar yang ditransformasikan (elabore) dengan menggunakan
benda-benda budaya, sementara itu makanan busuk adalah makanan mentah segar
yang mengalami transformasi karena kekuatan-kekuatan alam. Jika dalam sistem
fenom ada oposisi biner maka dalam sistem kuliner ini juga ada operasi biner
yakni antara normal dan
ditransformasikan, budaya/alam,
yang keseluruhannya diinternalisasikan ke dalam eidos budaya manusia dimana pun
(Leach, 1973).
BUDAYA
|
ALAM
|
MENTAH
|
DIMASAK BUSUK
|
DITRANSFORMASIKAN
|
NORMAL
|
(non elaborasi)
|
KONDISI MATERIAL MAKANAN
(derajat elaborasi)
H.
Jenis
Realitas Sosoalyang Dikandung
Apabila
dilihat dari kajian-kajian yang telah dilakukan Levi-Strauss maka jenis
realitas yang dikandung dalam teori strukturalisme Levi-Strauss adalah : fakta
sosial yang objektif/empiris. Unit analisis penelitian-penelitian yang
dilakukan Levi-Strauss dalam hal ini sama dengan Durkheim, yakni tingkat
(level) makro. Ketika Durkheim meneliti fenomena bunuh diri yang terjadi di
berbagai negara (masyarakat) maka jelas unit analisisnya adalah masyarakat
(negara)itu sendiri sebagai suatu entitas. Dari hasil penelitiannya itu
diperoleh kesimpulan bahwa di suatu masyarakat memiliki tingkat bunuh diri yang
tinggi dibandingkan yang lain
berdasarkan karakteristik sosial tertentu. Dalam disiplin sosiologi pola
penarikan kesimpulan induktif seperti oleh sampel berlaku untuk keseluruhan
populasi. Pendekatan penelitian seperti yang diperkenalkan Durkheim disebut
pendekatan kuantitatif dengan
mengandalkan uji statistik untuk menarik kesimpulan.
I.
Linkup
realitas social yang terkandung
Lingkup realitas social
yang terkandung dalam teori struktuarisme Levi – Strauss adalah faktor social
yang bersifat makro. Sebagaimana halnya yang menjadi objek penelitian para
funsionalis, struktrualisme Levi – Strauss berusaha memfokuskan diri pada pola-pola universal untuk menjelaskan realita
social. Dalam beberapa hal menarik untuk membandingkan Parson sebagai representasi funsionalisme dengan Levi – Strauss sebagai
representasi struktrualisme. Seorang actor dalam melakukan tindakan, dalam perspektif personal menghadapi lima dilema universal, yakni: afektifitas versus
netralitas afektif, spesifikasi versus peleburan, universalisme versus partikularisme, kualitas versus penampakan, orentasi diri versus
orientasi kelompok. Dilema Levi – Strauss di sisi lain
terletak dalam konteks mitos dan bahasa, resolusi mereka muncul melalui pertautan
antara struktur mental bawah sadar secara umum.
Sementara itu, jika di
bandingkan antara Levi – Strauss dengan Durkheim
maka juga ada kemiripan. Jika Durkheim menganggap suatu fakta social itu
bersifat sui generis,constraint, dan coercive, maka Levi – Strauss juga mengasumsi kan
bahwa dalam masyarakat terdapat
sesuatu tatanan struktual yang tidak di ketahui orang mampu mengarahkan semua
variable social.
J.
Lokus Aktor yang Otonom
Struktualisme Levi –
Strauss pada dasarnya mengabaikan peran individu dalam masyarakat “kematian
subjek” merupakan selogan yang di alamatkan pada struktrualisme. “Subjek” dalam
hal ini adalah agen-agen social, tindakan, dan kepribadian individu. Menurut teori ini bahasa manusia merupakan perancang dari pemikiran dan
tindakan-tindakannya. Asumsi yang di kemukakan adalah bahwa manusia tidak
menciptakan. Manusia adalah manusia boneka-boneka dari ide-idenya dan
tindakan-tindakan mereka ditentukan oleh pilihan dan putusan tetapi merupakan
hasil dari struktrul ide-ide pokok, individu tidak menciptakan masyarakat
tetapi di ciptakan masyarakat.
K.
Lokus Penjelasan Otonom
Lokus penjelasan Levi – Strauss termasuk
dalam kategori;
“mind” yang menentukan “body”. Pernyataan ini di dasarkan pada pendapatnya Levi – Strauss sebagai berikut.
a)
Dalam karyanya yang berjudul totunism, Levi – Strauss menyatakan
bahwa pikirran manusia menkontruksi
system-sistem signifikansi. Menurut Levi – Strauss, klasifikasi
alamiah merupakan kontruksi pikiran. Dalam analisis terakhir, pikiran menciptakan spesies sebagai mana halnya
totenisme. Perbedaan-perbedaan yang di ciptakan benar-benar ada di dalam alam.
Dengan demikian, alam sebagai
sebab terakhir, mendasari keduanya (Bradcock.2008).
b)
Dalam karyanya yang berjudul The
Savage mind, Levi – Strauss menyatakan bahwa “pikiran liar” berjalan pada
level kongkret,
mengambil dari alam dan menerapkan terus menerus perangkat intelektual yang sama
untuk menciptaknan system signifikansi.
Dari alam, pikiran dapat memanfaatkan kode-kode indrawi kongkret, menggunakan oposisi logis yang
sederhana antara panas/dingin, mentah/masak, berpakaian/telanjang,
jantan/betina, kiri/kanan, basah/kering, hitam/putih dan seterusnya. Kode-kode
seperti ini menciptakan
system intelektual yang konpleks dan mengandung kohesi yang logis (Crack,
2008).
c)
Menurut Levi – Strauss, apa yang dimaksud
dengan “ pikiran “ tidak seperti “geits” pada perspektif Hegelian . Pikiran
lebih dekat dianalogikan
dengan computer dari pada
dengan jiwa. Aktivitas pikiran dalam menciptakan dan mendengarkan mite – atau
music , untuk masalah itu – lebih mirip seperti apa yang terjadi jika computer
diberi program yang membuatnya mencetak semua kemungkinan permutasi dari deret
hubungan artimetika . Jika kita selanjutnya membayangkan bahwa computer dapat
membaca hasil cetakannya sendiri dan menarik kesimpulan – kesimpulan darinya,
kita bisa melihat bahwa computer akan menemukan pola yang mendasari dalam
“pesan–pesan”
tercetaknya yang sesuai dengan “kode” batinnya sendiri yang diprogramkan
(Badcock, 2008).
Sebagai contoh , mite
Levi-Strauss adalah abstrak , tetapi abstraksi ini berasal dari “pemograman”
structural dasar atas pikiran – yang dengan sendirinya merupakan objek alamiah
. Jika pemograman ini diterapkan bagi alam, harmoni structural dan pencerminan
timbal balik yang tidak terelakkan
akan dihasilkan . Seperti halnya
tetorisme, mite dipandang sebagai merefleksikan dua realitas seketika ,
realitas social dimana mite mengungkapkan hubungan antara berbagai aspek
kehidupan social budaya dan realtias alamiah yang merefleksikan prinsip –
prinsip fungsi dasar dari pikiran (Badcock, 2008 ).
L. Asumsi tentang Individu dan
Masyarakat
Asumsi
tentang individu dan masyarakat teori strukturalisme sangat dipengaruhi asumsi
dari filsof Emmanuel Kant bahwa dunia di sekitar
kita adalah produk dari ide – ide kita . Asumsi yang digunakan strukturalisme
juga sama bahwa ide – ide yang kita miliki akan menghasilkan dunia yang kita
lihat . Jadi , ketika Levi-Strarauss menegaskan telah memiliki struktur pokok
dari sistem – sistem kekerabatan dalam masyarakat suku terasing dia sedang
mengatakan bahwa telah menemukan struktur pokok dari termologi persahabatan ,
ide-ide yang dengannya
masyarakat berbicara tentang persahabatan
. Sama halnya dengan Durkheim , posisi Levi-Strauss sebagai seorang
“kolektivis” dalam hal ini sangat jelas, dimana dia tidak melihat arti penting
kedudukan
individu dalam masyarakat . Fakta social bagi Durkheim adalah “hal-hal” dalam
pengertian yang nyata, yakni sesuatu yang ada diluar subjektivitas terdekat
kita , sesuatu yang memiliki eksistensi
yang independen . Keika Levi-Strauss meneliti tentang system kekerabatan suku-suku
terasing, tampak sekali bahwa factor social yang diteliti satu level dengan fakta
social yang diteliti Durkheim, misalnya bunuh diri.
Di satu sisi, Craib
(1986) mendukung argumen Levi-Strauss dengan mengatakan bahwa orang yang
berbeda pemikirannya benar-benar
hidup dalam dunia yang berbeda. Akan tetapi , disatu lain menolak pandangan
tersebut bahwa dalam kenyataannya dunia itu selalu memberikan perlawanan terhadap
pemikiran – pemikiran ini dan hal itu juga menjadi suatu persoalan penafsiran
satu terhadap yang lainnya. Strukturalisme dalam bentuknya yang ekstrem tidak
menunjukkna perlawanan terhadap hal ini . Bagi Levi-Strauss , tidak menjadi
masalah bahwa tingkah laku persahabatan berbeda dari apa yang dimaksud dalam
terminology tentang persahabatan itu sendiri.
M. Metode yang Digunakan
Levi-Strauss agak
berbeda dari kebanyakan
antropologi lain yang
melakukan penelitian lapangan
secara eksistensi.
Kebanyakan antropolog
menghabiskan sebagian waktnya untuk menerbitkan data yang mereka peroleh dari
pengalaman penelitian lapangan. Di lain pihak Levi-Strauss melakukan penelitian
menggunakan metode yang berbeda. Struktrualisme menurutnya merupakan “tinjauan dari kejauhan” (The View From
Afar ), dengan kata lain peneliti di pisahkan dari objek studinya. Pusat
perhatian Levi-Strauss hampir tidak pernah berubah sepanjang masa karirnya, yakni mengungkap tatanan
logika yang ada di balik segala kekayaaan dan keanekaragaman budaya manusia.
Unit analisis yang
digunakan dalam penelitian Levi-Strauss ada
pada level makro (tingkat masyarakat). Apa yang di teliti Levi-Strauss tidak
ubahnya seperti yang di teliti Durkheim, yakni fakta social yang bersifat
makro. Data yang dikumpulkan merupakan data makro seperti system kekerabatan, mite, atau symbol-simbol
budaya pada masyarakat yang menjadi objek kajiannya. Data tersebut dikumpulkan
dengan metode dokumentasi. Metode seperti dilakukan ketika meneliti sistem kekerabatan masyarakat suku terasing, tetomisme, pemikiran
liar (savage thought), dan lain-lain. Levi-Strauss sangat konsisten dengan
metode ini dan menjadi ciri utama yang membedakan teoritisi lain baik
antropologi yang menjadi bidang kajiannya maupun teoritisi social lainya. Asumsi
yang di bangun dalam hal ini mirip dengan asumsi Durkheim. Jika asumsi Durkheim
mengasumsi masyarakat sebagai organisme social. Dalam konteks ini, gejala yang dipelajari akan di pandang sebagai mahluk hidup yang
terbangun dari berbagai macam unsur yang sering berhubungan secara fungsional
satu sama lain sehingga terdapat saling pengaruh (interdepedensi).
N. Bias, Kepentingan, Ekonomi dan
Politik
Teori
ini Levi-Strauss banyak diilhami kondisi kekacauan masyarakat eropa yang
terjadi pada masa tahun 1930-1950. Meskipun tidak dinyatakan secara explicit,
misi politik teori Levi-Strauss barangkali dapat di samakan dengan durhkheim,
yakni meinginkan adanya suatu keteraturan social (social order). Masyarakat
yang ideal adalah masyarakat yang tertib. Secara tidak langsung Levi-Strauss
mendukung kemampuan (status quo) kelas elit yang berkuasa pada saat itu.
O. Kesimpulan
Secara
umum sturuktualisme Levi-Strauss dapat di kelompokkan sebagai collectivist
theory. Unit analisisnya pada tingkat masyarakat, membuatnya menghasilkan
peran dan kualitas individual dalam masyarakat. Levi-Strauss tidak terlepas
dari pengaruh para pemikir besar sebelumnya seperti Durhkheim, Marx, Freud dan lain-lain. Meskipun mempunyai
pengaruh yang luas dalam bidang-bidang kajian diluar antropologi, tetapi ketika
iklim polotik di banyak Negara di penuhi nuansa pembebasan induvidu dalam segala
bentuk penindasan maka paradigma
struktrualisme ini hilang
pengaruhnya.
Saat
ini paradigma
struktrualisme kurang popular jika di bandingkan dengan post-struktrualisme
maupun dekon struktrualisme. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan terutama kritik yang di
alamatkan untuk teori ini yang di tuduh sebagai ahitoris dan terlalu deterministik sehingga mengakibatkan otoritas
tindakan individu.
P.
State of The Art
1.
Marxisme Struktural
Versi
strukturalisme lainnya yang sangat sukses di Prancis (dan di banyak bagian
dunia lainnya) adalah Marxisme strukturalis (Lechte,2005), terutama karya Louis
Althusser (K. Tucker,2007), Nicos Poulantzas dan Maurice Godelier.
Walaupun
kami telah mengemukakan perkara bahwa strukturalisme modern dimulai dengan
karya Saussure dalam linguistik, terdapat sebagian kalangan yang berpendapat
bahwa aliran pemikiran itu dimulai dengan karya Karl Marx:”Ketika Marx berasumsi
bahwa struktur tidak sama dengan hubungan-hubungan yang kasat mata dan
menjelaskan logika tersembunyi mereka, dia telah menandai mulainya tradisi
strukturalis modern (Godelier,1972b:336). Walaupun Marxis struktural dan
strukturalisme secara umum menempatkan perhatian mereka pada “struktur”, setiap
aliran merumuskan struktur secara berbeda.
Setidaknya,
sebagian pemikir Marxis struktural memiliki kesamaan dengan para pemikir
strukturalis dalam perhatian mereka pada studi atas struktur sebagai prasyarat
pada kajian sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Maurice Godelier,”Studi
terhadap fungsi struktur secara internal harus mendahului dan menjelaskan studi
tentang penciptaan dan perkembangannya” (1972b:343). Dalam karyanya yang lain,
Godelier mengatakan, “logika dalam sistem tersebut harus dianalisis sebelum asal mula mereka dianalisis”
(1972a:xxi). Kesamaan pandangan lainyang dimiliki oleh para Marxis struktural
dan strukturalis adalah bahwa strukturalisme harus memerhatikan struktur, atau
sistem, yang terbentuk dari saling memengaruhi dalam hubungan sosial. Kedua aliran
itu melihat struktur sebagai sesuatu yang nyata (meski tidak kasat mata),
meskipun mereka sangat berbeda mengenai hakikat dari struktur yang mereka
anggap nyata. Bagi Levi-Strauss, yang menjadi pusat perhatian adalah pada
struktur pikiran, sedangkan, bagi para Marxis struktural, fokus mereka adalah
pada struktur yang melandasi masyarakat.
Barangkali,
yang paling penting adalah fakta bahwa strukturalisme maupun Marxis struktural
sama-sam menolak empirisisme dan menerima adanya perhatian pada struktur yang
mendasari masyarakat. Godelier berpendapat: “Apa yang ditolak para pemikir
strukturalis maupun Marxis struktural adalah definisi empiris dari apa yang
dianggap sebagai struktur sosiall” (1972a:xviii). Selain itu, Godelier juga
membuat pernyataan sebagai berikut.
Bagi
Marx maupun Levi-Strauss, sebuah struktur bukanlah
sebuah realitas langsung bisa
terlihat, dan sehingga langsung dapat diamati, melainkan suatu tingkatan realitas yang ada melampaui hubungan antar-manusia yang langsung terlihat, dan beroperasinya
adalah sebagai logika yang mendasari sistem, susunan tersembunyi di dasar yang
digunakan untuk menjelaskan susunan yang tampak.
(Godelier,1972a:xix)
Godelier bahkan kemudian melanjutkan dan berpendapat
bahwa pencarian seperti itu mendefinisikan semua ilmu pengetahuan: “Apa yang
tampak adalah sebuah realitas yang
menyembunyikan realitas lain yanng
lebih dalam letaknya, yang tersembunyi dan penemuannya persis merupakan apa
yang menjadi tujuan dari pemahaman ilmiah” (1972a:xxiv).
Diluar
kesamaan itu, Marxisme struktural tidak secara umum berpartisipasi dalam
peralihan linguistik yang saat itu tengah berlangsung dalam ilmu sosial.
Sebagai contoh, perhatian utamanya tetap pada struktur sosial dan ekonomi,
bukan linguistik. Lagi pula, Marxisme struktural tetap dikaitkan dengan teori
Marxis sebagaimana mereka dengan eksistensialisme.
2.
Postrukturalisme
Walaupun
kecil kemungkinannya untuk menetukan secara tepat terjadinya suatu transisi,
Charles Lemert (1990) menemukan permulaan postrukturalisme pada sebuah pidaro
Jacques Derrida, seorang pelopor pendekatan tersebut yang sangat terkemuka,
pada 1996 (Lipscomb,2007; J.Philips,2005). Dalam pidato tersebut, Derrida
memproklamirkan terbitnya sebuah zaman postrukturalis baru. Berkebalikan dengan
para strukturalis, terutama mereka yang mengikuti peralihan linguistik dan
memandang masyarakat terikat oleh struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa
menjadi “tulisan” yang tidak membatasi subjeknya. Lebih lanjut, Derrida juga
memandang institusi sosial bukan sebagai apa pun selain tulisan dan, dengan
demikian, tidak dapat membatasi masyarakat. Dalam pengertian masa kini, Derrida
mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996), dan ketika ia
selesai, yang ditemukannya adalah tulisan. Meskipun fokusnya disini masih pada
bahasa, tulisan bukanlah suatu
struktur yang membatasi masyarakat. Lebih lanjut, jika para strukturalis
memandang tatanan dan stabilitas dalam sistem bahasa, Derridan melihat bahasa
bersifat tidak stabil dan tidak terata. Konteks yanng berbeda akan memberi
suatu kata makna yangn berbeda pula. Sebagai akibatnya, sistem bahasa tidak
memiliki kekuasaan yang membatasi atas masyarakat sebagaimana menurut para
strukturalis. Lebih lanjut, sangatlah kecil kemungkinannya bagi para ilmuwan
untuk mencari kaidah-kaidah dasar bahasa. Dengan demikian, Derrida menawarkan
apa yang pada akhirnya menjadi sebuah perspektif dekonstruktif dan subversif.
Sebagaimana akan kita lihat, subversi dan dekonstruksi bahkan menjadi lebih
penting dengan lahirnya posmodernisme, dan tidak lain adalah postrukturalisme
yang telah memberikan landasan bagi posmodernisme.
Objek
permusuhan Derrida adalah logosentrisme
(pencarian atas sebuah sistem pikiran universal yang akan mengungkapkan apa
yang nyata, benar, indah, dan seterusnya) yang telah sangat mendominai
pemikiran sosial Barat. Pendekatan itu telah menyebabkan apa yang disebut
Derrida sebagai “pengekangan dan pemasungan terhdap tulisan sejak Plato” (1978:
196). Logosentrisme tidak saja menyebabkan berhentinya filsafat, tetapi juga
pada berakhirnya semua ilmu pengetahuan manusia. Derrida tertarik dalam
mendekonstruksi, atau “melucuti”, sumber yang menyebabkan tulisn dari segala
sesuatu yang menguasainya. Sebuah frasa yang tepat untuk menggambarkan fokus
Derrida tersebut adalah “dekonstruksi logosentrisme” (1978: 230). Secara lebih
umum, dekonstruksi melibatkan
dekomposisi atau tindakan mengurai terhadap kesatuan guna menyingkap segala
perbedaan yang tersembunyi (D.N. Smith, 1996:208).
Sebuah
contoh nyata yangn cukup baik untuk menggamabrkan pemikiran Derrida adalah
pembahasannya tentang apa yang disebutnya sebagai “panggung kekejaman”. Ia
menghadapkan konsep tersebut pada panggung tradisional, yang dalam pandangannya
didominasi oleh sebuah sistem pemikiran yang disebutnya sebagai logika cerminan
(logika serupa telah mendominasi teori sosial). Dengan kata lain, apa yang
terjadi di panggung “mencerminkan” apa yang sedang terjadi dalam “kehidupan
nyata”, maupun juga ekspetasi penulis, sutradara, dan sebagainya dari
pertunjukkan tersebut. Logika cerminan itu atau kita bisa menyebutnya sebagai
“representasionalisme” adalah tuhannya panggung pertunjukkan dan hal itu
mengubah panggung tradisional menjadi teologis. Sebuah panggung teologis adalah
panggung yang diperbudak oleh satu pihak, dikuasai:
Panggung
menjadi teologis selama strukturnya, mengikuti keseluruhan tradisi, patu pada
unsur-unsur sebagai berikut: seorang pencipta-penulis yang, meski tidak hadir
dipanggung dan dari kejauhan, bersenjatakan sebuah teks dan terus mengawasi,
menyusun, meregulasi waktu atau makna dari representasi... Ia membuat
representasi mempresentasikan dirinya melaui sejumlah representatifnya,
sutradara atau para aktor, memperbudak
para penginterpretasi...yang...kurang lebih secara langsung mempresentasikan
pikiran dari snag “pencipta”. Para budak
interpretasi secara patuh melaksanakan desain yang telah ditetapkan sang
“penguasa.” ...Akhirnya, panggung yang teologis mematuhi publik yang duduk
dengan pasif , publik penonton,
publik konsumer, publik penikmat.
(Derrida, 1978: 235, pemiringan ditambahkan)
Derrida
memimpikan sebuah tahapan alternatif (sebuah masyarakat alternatif?) tempat “tuturan
akan berhenti menguasai panggung” (1978: 239). Dengan kata lain, panggung bukan
lagi tempat berkuasanya penulis dan teks. Aktor tidak akan lagi menjadi pihak
yang didikte; penulis bukan lagi seorang diktator atas apa yng ditampilkan
dipanggung. Namun, itu tidak kembudian berarti bahwa panggung akan menjadi
arena yang anarkis. Meskipun Derrida tidak terlalu jelas tentang tahapan
alternatif yang ia bayangkan, kita akan menemukan petunjuk ketika ia membahas
“konstruksi panggung yang keriuhannya belum dijinakkan menjadi kata-kata”
(1978: 240). Atau, “panggung kekejaman akan menjadi seni perbedaan atau seni
belanja tanpa ekonomi, tanpa ada keraguan, tanpa kembalian, tanpa sejarah”
(Derrida, 1978: 247).
Jelas
bahwa Derrida menyerukan sebuah dekonstruksi radikal terhadap masyarkat secara
umum, yang dalam penguasaan logosnetrisme. Sebagaimana keinginannya untuk
membebaskan panggung dari kediktatoran penulis, Derrida juga inginmelihat
masyarakat terbebas dari gagasan-gagasan semua otoritas intelektual yang telah
menciptakan wacana yang dominan. Dengan kata lain, Derrida ingin melihat kita semua
bebas untuk menjadi penulis.
Yang
secara implisit terkandung disini adalah bidang perhatian postrukturalis (dan
juga posmodernis) lainnya yang juga dikenal secara luas peminggiran. Dalam suatu pengertian, Derrida menginginkan
menjauhnya panggung dari “pusat” tradisolnalnya, yakni perhatian pada penulis
(otoritas) dan ekspektasi mereka, dan memberikan lebih banyak kebebasan bermain
kepada aktor. Pemahaman itu, juga, dapat digeneralisasikan pada masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Derrida mengaitkan pusat itu dengan jawabannya dan, dengan demikian, pada akhirnya
dengan kematian. Pusat tersebut dihubungkan denganketiadaannya yang sangat
penting bagi Derrida: “permainan dan perbedaan” (1978: 297). Panggung atau
masyarkat tanpa permainan dan perbedaan –yakni, panggung atau masyarakat yang
statis –dapat dipandang mengalami kematian. Berlawanan dengan hal tersebut,
panggung atau masyarakat yang tanpa sebuah pusat akan menjadi sangat terbuka,
terus berkembang, dan merefleksikan diri sendiri. Derrida menyimpulkan bahwa
masa depan kita untuk ditunggu kedatangannya ataupun dibangun kembali” (1978:
300). Yang ia maksud bahwa kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu
dan tidka pula kita akan secara pasif menunggu datangnya nasib kita. Lebih
tepatnya, masa depanadalah untuk dibangun, diciptakan, ditulis, dalam apa yang
kita lakukan.
Setelah
membuktikan ketidakbenaran logosentrisme Barat dan otoritas intelektual, di
akhir Derrida tidak memberikan jawaban kepada kita: pada kenyataannya tidak ada
satu jawaban yang mutlak (Cadieux: 1995). Pencarian atas jawaban, pencarian
atas logos, selama ini telah merusak dan meperbudak. Satu-satunya hal yang ia
berikan adalah proses menulis, bermain peran, dengan permainan dan perbedaan.
3.
Strukturalisme Piere Bourdieu
Pierre
Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi yang memiliki
kedudukan penting dalam sosiologi Prancis. Bourdieu lahir pada tahun 1930
di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota
kecil selatan Prancis, lahir dari keluarga menegah ke bawah. Ayah Bourdieu
adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikannya di Prancis. Dimana pada saat itu terjadi ketidakadilan
dalam bidang pendidikan antara pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan
pelajar dari golongan atas. Disini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu
pengetahuan yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin merugikan
golongan menegah ke bawah.
Teori
Bourdieu lahir di jiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara
objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu
menekankan pada peranan struktur yang menentukan aktor dan lingkungan
sosialnya, disini kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau biasa
disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim ,Marx, Saussure dan
lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro,
yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme
misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua pemikiran
ini dan ingin menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak
semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh
aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik
dari keduanya. Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan
dialektik antara struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Untuk
menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan dialektika antara struktural
dan cara aktor membangun realitas sosialnya, Bourdieu memberikan nama pada
orientasi pemikirannya sebagai “Strukturalisme Genetis”. Bourdieu
mendefinisikan strukturalisme genetis dengan cara berikut:[1]
Analisis struktur objektif tak
dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga
taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat
dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial
dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (di mana
agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan
sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial
ini).
Upaya Bourdieu untuk menjembatani
antara objektivisme dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu
tentang habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya.[2]
Habitus berada di dalam pikiran aktor sedangkan lingkungan berada di luar
pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan
dan mempengaruhi.
Pada
dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai objektivisme adalah
suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi, dan dalam kondisi ini,
individu tidak bisa menolaknya. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri
adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu
diluar struktur. Dimengerti sebagai menjelaskan suatu pengetahuan/ pengalaman
dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa mengerti melalui bahasa yang
kita pahami.
1. Habitus
Habitus
adalah struktur mental atau kognitif,[3]
yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus
menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor
untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk
dari sejarah, sebagai warisan dari masa lalu yang di pengaruhi oleh struktur
yang ada.[4]
Habitus sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan
kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah.
Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai
fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi.
Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian
terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan,
memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran
dan pilihan tindakan individu).[5]
Habitus
dapat digambarkan sebagai hasil atau produk dari internalisasi struktur dunia
sosial yang diwujudkan. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi
dalam kehidupan sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan berbeda-beda,
tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut dalam kehidupan
sosial. Sehingga seseorang yang menduduki posisi yang sama dalam dunia sosial,
cenderung akan memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus
dapat pula menjadi fenomena kolektif.[6]
Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan
dari satu bidang ke bidang yang lain. Dengan kata lain, meskipun habitus
sebagai warisan pengalaman masa lalu atau produk dari internalisasi struktur,
dapat berubah-ubah sesuai dengan ranah di mana ia berada. Sebagai contoh,
seorang warga Indonesia dan tinggal di Indonesia, memiliki kebiasaan untuk
menolong sesama apalagi kalau orang lain tersebut dalam keadaan kesusahan,
seperti terdapat kewajiban untuk menolongnya. Namun ketika warga Indonesia
tersebut pindah dan tinggal di Luar Negeri yang memiliki struktur dan
kebudayaan yang berbeda, dimana ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan,
kita tidak memiliki kewajiban untuk menolongnya. Habitus warga Indonesia
tersebut dalam kasus ini dapat tetap seperti ketika ia masih di Indonesia yaitu
menolong orang lain, atau juga habitusnya dapat berubah, yaitu dengan bersikap
acuh dan tidak menolong orang tersebut.
Habitus
menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus
adalah “struktur yang menstruktur” (strukturing strukture); artinya,
habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain
pihak, habitus adalah “struktur yang terstruktur” (struktured strukture);
yakni, habitus adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan
kata lain Bourdieu menjelaskan habitus sebagai dialektika internalisasi dari
eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas.[7]
Sehingga, di satu pihak, habitus diciptakan oleh praktik atau tindakan; di lain
pihak, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial.
Menurut
Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang
dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam menentukan pilihan,
aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses
pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus.[8]
Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor
dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan
sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak,
ada logikanya untuk apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika
tindakan Bourdieu.[9]
Logika tindakan Bourdieu (logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika
formal). Terdapat konsep relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk
menuntun individu untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap,
tak dapat berubah, tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah
di hadapan situasi yang saling bertentangan di mana mereka berada.[10]
Kerja
waktupun juga bisa mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan suatu
tindakan. Yang dimaksud kerja waktu disini adalah: habitus dan pengalaman
praktek bisa berubah sesuai waktu dengan menggunakan logika.[11]
Misalnya kondisi kebiasaan orang ketika berpakaian, orang jawa perempuan pada
waktu dulu identik dengan penggunaan jarit dan kebaya, akan tetapi dengan
berjalannya waktu, dan kondisi social sekarang ini, pakaian itu sudah jarang
kelihatan untuk dipakai sebagai pakain keseharian. Namun sering dipakai ketika
acara-acara adat tertentu seperti pakaian waktu hari kartini.
2. Lingkungan
(Ranah, Arena) atau Field.
Lingkungan
merupakan dunia tempat melakukan permainan-permainan atau disebut juga dengan game.
Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya.
Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh
kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri.[12]
Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan
perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar
individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini
ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak
jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi
terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu
arena. Contohnya, dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas, terjadi
sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut,
seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan
pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat mengerjakan ujian dengan
lancer, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi,
dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang pengetahuannya.
Lingkungan
adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur,
sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.[13]
Lingkungan juga adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting.
Bourdieu mengemukakan tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan, yaitu:[14]
1) Menggambarkan
keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap
lingkungan khusus dengan dengan lingkungan politik.
2) Menggambarkan
struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu.
3) Menentukan
ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam
lingkungan.
Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus,
Bourdieu menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling
timbal balik antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan
mengkondisikan habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai
sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai.
3. Keyakinan
Keyakinan
atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau
di anggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan dan memaksa tubuh untuk
mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar
untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah.[15]
Contoh, dalam ranah pendidikan yaitu diskusi dalam kelas, ketika seorang
murid yakin telah memiliki pengetahuan
yang cukup tentang bahan diskusi, maka ketika diskusi berlangsung keyakinan
bahwa ia memahami materi itu, mendorongnya untuk ikut aktif menyumbangkan
pendapat dalam diskusi tersebut, sehingga di sini, keyakinan yang mendorong
untuk melakukan praktek yaitu mengeluarkan pendapat.
Dalam
kaitan contoh diatas, tubuhpun menjadi alat yang digunakan untuk melakukan
praktek tersebut sesuai dengan keyakinan dalam dirinya. Ketika yakin bisa untuk
melakukan sesuatu yang dianggap benar, maka tubuh akan menggambarkan lewat
gerak-geriknya yang mencerminkan praktek.
4. Praktek
Praktek merupakan salah satu konsep utama
pilihan Bourdieu, sebagai konsep yang digunakan untuk menjelaskan konsepnya
tentang penolakan terhadap dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Konsep
praktek berarti bagaimana seseorang tersebut diberi stimulus kemudian akan
melakuakan suatu respon. Dalam konsep Bourdieu tentang praktik, Bourdieu
mengkritik tentang pandangan kaum objektivis yang menekankan pandangannya bahwa
struktur yang paling berkuasa dan menentukan tindakan aktor dan membentuk
lingkungan. Sehingga disini tindakan aktor tidak bebas melainkan terbatas.
Begitu juga Bourdieu menolak terhadap pandangan kaum subjektivis yang
menekankan bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh
struktur.
Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor
adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk
bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek
atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing
individu. Contohnya, dalam dunia perkuliahan, sistem pedidikannya menggunakan
sistem kredit semester (SKS). Ketika seorang mahasiswa mengambil 24 SKS, maka
sebagai konsekuensinya, setiap satu minggunya mahasiswa tersebut harus
menyediakan waktu dan belajar sebanyak 72 jam atau rata-rata perharinya selama
10 jam. Struktur mempengaruhi praktek
mahasiswa tersebut, agar dia belajar sesuai dengan SKS yang dia ambil, tetapi
mahasiswa juga bebas untuk melakukan prakteknya sesuai dengan habitusnya,
misalnya dengan hanya belajar selama 3 jam saja setiap harinya.
5. Struktur
Struktur
adalah aturan-aturan yang terbentuk dan ada dalam suatu ranah yang mempengaruhi
pembentukan habitus seorang aktor. Menurut Bourdieu, struktur terdiri atas dua
bentuk yaitu struktur objektif dan struktur buatan. Dalam teori logika praktis
Bourdieu, struktur dapat mempengaruhi pembentukan habitus, tetapi struktur juga dapat di pengaruhi oleh habitus. Contoh
struktur mempengaruhi habitus adalah, dalam masyarakat Jawa, terdapat aturan
kalau makan dan memberi sesuatu kepada orang lain itu harus dengan menggunakan
tangan kanan. Aturan ini membentuk habitus seseorang, ketika dia makan dan
memberi kepada orang lain harus dengan tangan kanan (struktur membentuk
habitus). Sedangkan contoh habitus mempengaruhi struktur adalah habitus seorang
pelajar yang rajin, dia memiliki rutinitas belajar setiap sore dan malam hari.
Ketika dia tidak melakukan itu, maka akan terjadi perasaan keganjilan, sehingga
aktivitas belajar setiap sore dan malam hari membentuk sebuah struktur dalam
hidupnya.
Dalam
konsep strukturnya, bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarkat,
struktur sangat dominan dalam mempengaruhi Agen. Individu pada dasarnya sangat
dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi Agen juga bisa
berperan dalam mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, akan tetapi tidak
sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik
disini, yaitu struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur.
Struktur disini bersifat sebagai genetik/ bawaan.
STRUKTUR
AGEN
6. Modal
Modal
merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan
untuk menentukan posisi dalam suatu ranah. Modal itu harus selalu di produksi
dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu
modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik.[16]
1) Modal
ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang,
emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
2) Modal
sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau
hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang
berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Misalnya
seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen.
3) Modal
kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara
berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
4) Modal
simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau
jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.
Distribusi kapital menentukan struktur objektif
kelas-kelas di dalam sistem sosial. kelas yang dominan adalah kelas yang
memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan
kelas bawah atau kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit.
Secara logis, maka kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan.
7. Kekerasan
Simbolik
Kekerasan
simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena kekerasan simbolik
hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki modal
simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda dipersepsikan dan
diakui sebagai legitimate, yang
memiliki legitimasi, mendapat pengakuan dan diterima publik secara luas.
Legitimasi sebagai sebuah proses,
menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang
mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua
kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian
atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan
hubungan-hubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya
merupakan hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan
makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat
mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan
menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya.
Modal
simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki modal simbolik
berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan simbolik. Kekuasaan
simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan
pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau yang
lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya,
kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekuasaan simbolik sering kali
memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak mudah dikenali.[17]
Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi seringkali merasa tidak keberatan
untuk masuk kedalam sebuah lingkungan dominasi. Bourdieu menyebut ini sebagai
kekerasan simbolik.[18]
Secara
garis besar, kekerasan simbolik dapat diartikan sebagai kekerasan yang secara
paksa mendapat kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar
pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam
secara sosial. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian
kekerasan yang dimiliki, menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang
seharusnya demikian”. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara,
yaitu:[19]
1) Eufemisasi:
biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak
dapat dikenali, dan dipilih secara “tak sadar”. Misalnya dapat berupa
kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala,
atau belas kasihan. Contoh: hubungan yang terdapat dalam sebuah keluarga antara
anak dengan orang tua, dimana setiap mau keluar rumah, anak harus minta ijin
kepada orang tua. Disini terjadi kekerasan simbolik eufimisme berdasarkan sopan
santun.
2) Sensorisasi:
kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai
yang dianggap sebagai “moral kehormatan”. Seperti kesantunan, kesucian,
kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral
rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan
sebagainya. Contoh, seorang laki-laki harus menghormati seorang perempuan, agar
laki-laki tersebut dianggap memiliki moral yang tinggi dan memiliki nilai
kesantunan (seorang laki-laki tidak melecehkan atau bertindak asusila terhadap
perempuan).
Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik sangat perlu
dilakukan dalam dunia pendidikan, agar pelaksanaan pendidikan semakin efektif.
Karena itulah para pendidik dalam dunia pendidikan sering melakukan kekerasan
simbolik kepada peserta didiknya agar peserta didik lebih disiplin. Contohnya,
setiap pertemuan kelas, selalu diadakan kuiz atau ulangan oleh guru, sehingga
membuat murid, baik secara suka atau tidak, sehingga menjadi mau tidak mau
murid harus membaca dan belajar materi sebelum kelas berlangsung agar dapat
mengerjakan soal kuiz.
8. Kadar
objektivitas dari subjektivisme
Dalam
dunia sosial selalu terdapat orang yang mendominasi dan orang yang didominasi.
Ini akan selalu terjadi selama ada bentuk relasi yang tidak setara (asimetris).
Ilmu pengetahuan sosial, harus mempertimbangkan dua macam atribut yang secara
objektif terlekat pada mereka, yaitu atribut materi dan atribut simbolik.[20]
Atribut material dimulai dengan tubuh, yang dapat di lihat dan di ukur seperti
benda lainnya dari dunia fisika.
Kadar
objektivitas dan subjektivitas disini menurut Pierre Bourdieu, seberapa
besarkah kadar objektivitas subjektivitas dari seorang manusia tersebut.
Bagaimana ukuran tingkat objektivitas dari pandangan subjektivitas tiap
masing-masing dari individu dalam menilai suatu fenomena.
DAFTAR
PUSTAKA
Bourdieu,
Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University
Press.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. Diterjemahkan oleh Alimandan. 2003. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada
Media.
Ritzer, George. 2012. Teori
Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surbakti,
Ramlan. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Surabaya: Aditya
Media.
Rusdiarti,
Suma Riella. 2003. Edisi 11-12 (November-Desember). Bahasa, Pertarungan
Simbolik dan kekuasaan. Basis.
[1]
George Ritzer dan Douglas
J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta. Hal: 519.
[2] Ibid, hal: 522.
[3] Ibid.
[4] Pierre Bourdieu. 1990. The
Logic of Practice. Atanford University
Press: California. Hal: 54.
[5]
George Ritzer dan Douglas
J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta. Hal: 522.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal: 523.
[8] Ibid, hal: 524.
[9] Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 92.
[10] George Ritzer dan Douglas J.
Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta. Hal: 524.
[12] Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan.
Edisi 11-12. Hal: 34.
[13]
George Ritzer dan Douglas
J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta. Hal: 524.
[15] Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California. Hal: 67.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal: 118.
[18] Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan.
Edisi 11-12. Hal: 38.
[19] Ibid, hal: 39