Jumat, 05 April 2013

Strukturalis Antropologi Claude Levi-Strauss


A.    Konteks Sosial Politik
Strukturalisme Levi-Strauss dapat diidentifikasi dari kegiatan penelitiannya di Brasil ketika meneliti kelompok-kelompok suku Indian di Amerika Selatan. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1934. Alasan utama Levi-Strauss melakukan penelitiannya ke Brasil adalah karena kondisi  di Eropa yg  penuh kekacauan akibat Perang Dunia 1 dan juga terkena dampak  krisis besar. Setelah perang mereda, Levi-Strauss kembali lagi ke Prancis dan melakukan aktivitas yg sama yakni meneliti dan mengajar di universitas. Ketika Perang Dunia 2 meletus, Levi-Strauss pindah lagi dari Prancis tapi ketika itu menujju Amerika Serikat, tepatnya di New York. Aktivitas yg dilakukan tetap sama. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa konteks sosial politik utama yg mendasari teori  struktursalisme Levi-Strauss adalah kekacauan kondisi sosial politik akibat perang dunia.

Sebagaimana kebanyakan para pemikir sebelumnya, kondisi masyarakat yg harusnya  mendorong Levi—Strauss memikirkan kondisi masyarakat yg ideal. Meskipun tidak setegas Durkheim pendahulunya, Levi-Strauss merupakan pemikir visioner yg menghendaki suatu tatanan sosial baru. Menurut  Badcock  (2008), dalam bab pembuka karyanya Elementary of Strucktur of  Kinship dinyatakan bahwa apa yg dibutuhkan adalah faktor sosial yg menunjukan sifat budaya yg esensial, yaitu bahwa ia seharusnya arbriter,tetapi juga memperlihatkan tanda alam yg berkarakteristik, yaitu apa yg seharusnya perlu.  Alam menjadi suatu yg umum dan menjadi berkat  turunan, sedangkan budaya bersifat berkemungkinan dan arbriter.

Sekalipun demikian, menurut Levi-Strauss, latar belakang pribadi seorang teoritisi tidak relevan untuk dijadikan petunjuk mengidentifikasi problem-problem tertentu yg diangkat dan pendekatan yang digunakan teoritisi tersebut dalam mengungkap kebenaran. Strukturalisme menurutnya mempunyai pandangan yg sangat berbeda dalam kaitannya dengan apa yg melandasi pendekatan ilmiah dalam studi tentang masyarakat (Crick 2008).


A.                Fenomena Sosial yang Melahirkan Teori
Fenomena sosial utama yang  terjadi pada masa-masa awal karier Levi-Strauss adalah kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan sebagai dampak langsung depresi ekonomi yg terjadi pada 1930-an. Pada saat itu Banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja, kriminalitas, dan radikalisasi politik massa. Selain itu, pada umumnya di Eropa dan Prancis juga sedang terjadi kekacauan kelas penguasa, perpecahan negara gereja, dan kebangkitan politik anti-semitisme. Perang Dunia 1 yg terjadi saat hampir bersamaan, menambah intensitas kekacauan. Kondisi sosial ekonomi yg demikian inilah yg turut mendorong Levi-Strauss tertarik untuk melakukan penelitiannya di  Brasil pada tahun 1934.

Kondisi yang kurang lebih serupa terjadi lagi pada tahun 1940-an, dimana pada saat itu terjadi  Perang Dunia 2. Fenomena global yg terjadi  pada masa ini adalah munculnya negara-negara baru bekas jajahan yg memperoleh kemerdekaan setelah selesainya perang.  Runtuhnya imperialisme membawa dampak perubahan struktur pemikir sosial di negara-negara penjajah termasuk Prancis. Kelas elit yg dulunya memiliki kekuasaan dan kekayaan yg berlimpah, dalam waktu yg relatif sinngkat mengalami penurunan status. Kekacauan yg seperti inilah yang mendorong Levi-Strauss pindah ke Amerika Serikat. Berdasarkan kedua peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa, tampaknya Levi-Strauss tidak senang dengan situasi sosial yg penuh dg kekacauan.
Sebagai seorang keturunan Yahudi, Levi-Strauss merasa terancam jiwanyya ketika di Prancis dan di banyak negara Eropa lainnnya tumbuh gerakan politik antisemitisme. Oleh karena itu, ia merasa sangat berterimakasih kepada pihak sponsor yang  membiayainya untuk melakukan penelitian lapang di Brasil pada tahun 1934. Kondisi yg penuh dengan kekacauan merupakan satu hal yang sangat di benci Levi-Strauss. Levi-Strauss menghendaki kondisi masyarakat yg serba tertib dan teratur(order), dan keinginan ini tercermin dalam teorinya tentang strukturalisme. Dalam teorinya, ia menegasi arti penting “subjek” dalam masyarakat, karena otonomi subjek yang terlalu besarlah yang menndorong kekacauan.

B.                 Pemikiran Politik dan Teori Sosial yg Mempengaruhi
Dalam karya awalnya, Trites Tropiques(1955), Levi-Strauss menyebutkan bahwa dia memiliki tiga guru utama: Freud, Marx, dan Geologi (Crick 2008). Pandangan umum mengenai ketiga gurunya adalah bahwa apa yang tampak dari suatu fenomena bisa sangat menipu dan realitas harus ditemukan di balik fenomena yg tampak tersebut.  Seperti  halnya ketidaksadaran dalam mekanisme mental  menjadi alasan bagi tindakan-tinndakan yg mungkin tidak disadari. Demikian pula strata geologis bisa menjelaskan berbagai perbedaan wujud vegetasi. Tatanan dasar tekno ekonomi mempengaruhi pola –pola nilai dan ideologi. Pandangan strukturalisme mendasarkan pada ketiga pemikiran tersebut dan Levi-Strauss menyatakan bahwa wilayah yang sesungguhnya ilmiah terletak dibalik persepsi manusia yang lazim.
Dalam menganalisis budaya sebagai pesan, Levi-strauss menggunakan analisis marxisme konvensional dengan melihat masyarakat sebagai hasil dari pertentangan hubungan-hubungan material sehingga berguna untuk menangani isu perubahan sosial. Pendekatan strukturalis dalam hal ini hanya berhubungan dengan isu-isu suprastruktur yang memungkinkannya direduksi menjadi dasar materialistis dalam fisiologi pemikiran. Sebaliknya, meskipun menyediakan penjelasan reduktif tentang perubahan sosial, pendekatan marxis hanya diterapkan pada insfratruktur karena tidak bisa memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan yang cukup berbeda mengenai proses-proses penstrukturan dari suprastruktur-suprastruktur ideologis semacam (Badcock,2008). Jadi dengan demikian pengaruh marxs terhadap Levi-Strauss terletak pada penggunaan metode dialektika dalam menganalisis perubahan sosial, konflik, dan sebab-sebab akhir dari kode -kode budaya.
Sementara itu karya-karya Levi-Strauss dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan karya Freud. Karya Strauss yang berjudul elementary structure of kinship,totemism, dan The savage mind mempunyai kemiripan dengan karya Freud yang berjudul totem and taboo, serta mitologi pada hahikatnya seperti the interpretation  of dream-nya Freud yang dituangkan kembali dalam sebuah model  strukturalis. Dalam totem dan taboo , Freud menyatakan bahwa totemisme dicirikan pemujaan ritual totem yang ditabukan dan dengan sebuah sistem dari klan-klan eksogamus. Tujuan dari klan-klan tersebut adalah mencegah pergesekan hukum yang melarang perkawinan sedarah. Totem bagi Freud adalah phobia binatang kolektif yang mempresentasikan ayah pertama terhadap siapa anak-anaknya memberontak karena dominasi totalnya dari “ibu”. Totemisme , karenanya merupakan kesejajaran yang dekat dengan psikologi kelompok untuk phobia-phobia binatang yang umumnya ditemukan dikalangan anak-anak muda (Badcock,2008).
Dengan demikian , totemisme dan eksogami bagi Freud merupakan cara masyarakat untuk menghindari perkawinan sedarah sekaligus konflik-konflik oedipal yang menyertainya. Larangan ini pada mulanya merupakan keinginan ayah agar anak laki-lakinya tidak merebut posisi sekarang. Di sisi lain, menurut Levi-Strauss , eksogami eksis bukan karena manusia ingin menghindari perkawinan sedarah,tetapi lebih karena manusia ingin bertukar saudara perempuan.
Pemikiran atau teori-teori sosial Levi-Strauss juga dipengaruhi oleh tokoh lain yakni linguistik swiss , Ferdinand de Saussure ( 1857-1913). Konsep-konsep Saussure yang sangat mempengaruhi Levi-Strauss antara lain: pembedaan antara signifiant dan signife, lantas langage, parole dan langue, dan akhirnya sinkroni dan diakroni. Perbedaan antara significant dan signife dalam Bahasa Indonesia barang kali dapat disamakan dengan “penanda” dan “yang ditandai” menurut Al-Fayyad (2009). Penanda merupakan kesan bunyi yang dapat diimajinasikan dari mulut penutur,sedangkan “yang ditandai” atau tinanda adalah konsep yang ditunjuk oleh penanda, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara mental di dalam pikiran penutur.
Perbedaan ini dapat kita contohkan ketika kita menuliskan kata “kucing” misalnya, maka yang muncul dalam imaji mental kita adalah hewan berkaki empat. Imaji yang muncul inilah yang disebut petanda, sedangkan kata kucing itu sendiri adalah penanda. Secara bersama-sama membentuk “tanda” yang tak dapat dipisahkan satu sama lainya. Tidak jarang dikesankan bahwa kita mencari kata-kata bagi konsep-konsep yang sudah ada dalam pikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Padahal, makna tidak dapat dilepaskan dari kata. Tapi Saussure berpendapat bahwa relasi antara keduanya adalah arbritrer.
Pengaruh Saussure pada pemikiran Levi-Strauss dalam konteks ini terlihat dari gagasan Levi-Strauss mengenai sistem tanda. Penggunaan seperangkat alat yang ada untuk perbaikan tujuan-tujuan yang baru disebut Levi-Strauss sebagai bricolage, yang merupakan aspek penting pemikiran primitif. Totemisme dalam hal ini merupakan contoh terpenting dari bricolege otak, sehingga dapat dikatakan totemisme merupakan sistem pemikiran.
Contoh sederhana yang dapat menjelaskan konsep ini adalah sistem tanda yang digunakan manusia untuk mengatur lalu lintas. Lampu lalu lintas yang dipakai untuk mengatur hal tersebut berwarna merah,kuning,hijau yang masing masing menandakan aturan aturan yang ditentukan. Menurut  Leach (1973), warna merah secara konsisten merupakan tanda bahaya yang juga dipakai untuk menunjukan hal-hal lain seperti “kran berisi air panas”. Pola ini sama untuk hampir semua masyarakat, dan pada kasus yang lain warna merah seringkali sangat eksplisit dipahami sebagai “bahaya” dan hal itu merupakan derivasi dari konsep darah.

D. Latar Belakang dan social
Tokoh sentral strukturalisme dan juga tokoh antropologi structural ini lahir pada tanggal 28 november  1908 di Brussel ( Belgia ) dari keluarga Yahudi. Sejak kecil pindah ke Perancis dan menyelesaikan studi filsafat di Unversitas Sorbonne pada tahun 1931. Bidang filsafat sebenarnya adalah bidang yang tidak di sukainya. Selama belajar di Perancis dia berkenalan dengan beberapa sosiolog Perancis seperti Comte, Durkheim, Marcelmauss. Pemerintah Perancis memberinya kesempatan untuk melawat ke Brazil guna melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok suku di Amerika Selatan sekaligus mengajar sosiologi di Universitas Sao Paulo. Pusat perhatianya tertuju pada masalah antropologi structural sejak kepindahanya di Brazil ini. Tahun 1938, Levi-Strauss kembali lagi ke Perancis. Kondisi Eropa yang kacau akibat perang memaksanya pindah ke Amerika antara tahun 1942-1945, melakukan aktivitas sebagai pengajar dan menjadi professor di New School For Social Research ( New York). Selain itu juga menjadi atase kebudayaan di Washington. Sejak saat itu Levi-Strauss di kenal dengan  Jakobson, Ahli linguisik dan pemikiranya mulai terpengaruh lingustik struktral. Pada tahun 1950 dia menjadi direktur studi pada Ecole Practique Deshautess Etudes. Tahun 1959, Levi-Strauss  di kukuhkan sebagai professor daan menjabat sebagai ketua antropologi social pada College Di France. Tahun 1973 dia di angkat sebagai anggota Akademik Perancis. Levi-Strauss mendapat beberapa penghargaan akademik seperti di Inggris, Amerika, Belgia Dan Belanda.

E. Pertanyaan Teoritis Yang Diajukan
Secara umum pertanyaan teoritis yang diajukan Levi-Strauss dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, pertanyaan tentang asal usul historis atas fakta – fakta social dan pertanyaan fakta social  terpenting sebagai mana Levi-Strauss menyebutnya “budaya” , sedangkan Durkheim menyebutnya sebagai suara hati kolektif. Kedua, pertanyaan strukural atau asal usul logis dari fakta social atau kontroversi individualism versus holism. Ketiga, petanyaan tentang perubahan social dan akomodasinya dalam Durkheimisme atau sistem penjelasan fungsionalis (yaitu, sistem penjelasan yang menekankan consensus dan keseluruhan social. Dua pertanyaan pertama dapat ditemukan jawabanya pada karya Levi-Strauss yang berjudul Totemism, The Savage Mind, dan Elwmentary Structures of Kinship (Badcook,2008).
Sementara itu, dalam karyanya yang berjudul structural anthropology (1958) kita menemukan gagasan Levi-Strauss bahwa bahasa adalah piranti utama dalam menguraikan realitas kultural. Beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan hal ini antara lain adalah sebagai berikut :
·                     Apakah ini berarti bahwa masyarakat dapat dianggap sebagai bahasa?
·                     Apakah berarti ada sejumlah kaitan antara suatu kultur dengan bahasanya?
·                     Apakah berarti model-model linguistic yang rinci dapat dipakai dalam analisis fenomenal cultural?
Selama tahun 1940-1950, Levi-Strauss mengerahkan perhatianya pada masalah-masalah tersebut. Konsepsi semiologi yang digagas Saussure pada awal abad-20, mewarnai pemikiran Levi-strauss dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Begitu kuat pengaruh Saussure tersebut hingga Levi-Strauss mengatakan bahwa antropologi merupakan cabang semiotika yang menganalisis sistem tanda-tanda cultural sifat bahasa yang berulang dan juga melalui generalisasi sistem social tidak dapat dipahami kecuali kita memahami pula bahwa cara-cara yang digunakan untuk memproduksi sistem semacam itu memuat benih-benih perubahan didalam dirinya.
F. Jenis penjelasan yang di berikan
Jenis penjelasan yang di gunakan Levi-Strauss dalam hal ini adalah penjelasan historis. Beberapa bukti yang memperkuat argument ini dapat di rinci sebagai berikut.
a)                  Ferdinand De Saussure sering di pandang sebagai bapak linguistik modern. Tokoh ini mempunyai pengaruh terhadap Levi-Strauss, pernah menyatakan bahwa kita hanya bisa mengerti suatu masyarakat dengan memperhatikan hubungan- hubungan yang berbeda antara bagian-bagian yang berbeda dari bahasa. Usaha untuk memahami sesuatu dengan memperhatikan sejarahnya yang telah di juluki “historis” dan setelah kata “empiris”, historis merupakan kata yang paling kotor dalam perbendaharaan strukturalis (Craib,1986) .
b)                  Dalam karyanya yang berjudul Elementary School Of Kinship, Levi-Strauss meneliti di balik segala detail peraturan mengenai perkawinan dan kekerabatan yang pelik yang berasal dari ratusan masyarakat. Dari penelitiannya tersebut di peroleh sejumlah kaidah logis sederhana yang dengannya kita dapat memahami keseluruhannya. Dengan demikian, Levi-Strauss melacak kembali sejarah manusia melalui tanda-tanda cultural sehingga dapat di identifikasi struktur dan sistem sosial yang berlaku pada masayarakat teersebut. Menurut Badcock (2008) penjelasan Levi-Strauss pada Elementary School Of Kinship, sebagai penjelasan reduktif bentuk penjelasan yang dapat mereduksi fenomena social menjadi pengaturan kembali pertukaran tetapi juga menjadi reduksi historis, teori tentang revolusi masyarakat melalui sejarah dan lebih khusus sebagai teori evolusi masyarakat dari zaman binatang bukan manusia. Dalam karyanya ini Levi-Strauss menduga bahawa suku aborigin sebagai yang paling primitive dari sebagian besar masyarakat lain, paling tidak dari sudut pandang  teknologi dan budaya. Berdasarkan hal ini akan aman jika berasumsi bahwa mereka juga paling primitive dilihat dari sudut pandang agama.
c)                  Dalam karyanya yang berjudul Totemism, Levi-Strauss mencoba memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan yang diajukan para ahli antropologi pada abad 19. Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksut misalnya : mengapa sejumlah suku liar menyatakan dirinnya bahwa bahwa dirinya adalah burung beo? Mengapa sejumlah klan menggunakan nama binatang? Banyak penjelasan yang telah dikemukakan, namun bagi Levi-Strauss, Totemism hanyalah contoh dari apa yang disebut sebagai “logika konkrit” oleh pikiran manusia untuk mengontruksi sistem-sistem signifikansi. Secara internal masyarakat senantiasa tebagi-bagi entah dalam bentuk klan-klan atau satu yang lain, dan perbedaan dengan binatang merupakan imaji tentang heterogenitas yang sempurna telah disediakan alam. Wilayah alamiah dengan demikian menyediakan kode sempurna untuk membuat penamaan dalam divisi social. Spesies binatang dipilih, menurut Levi-strauss bukan karena “enak dimakan, tetapi karena gampang dipikirkan (Crick, 2005).
d)                 Levi-strauss memiliki kemiripan dengan Sigmund Freud dalam menganalisis suatu fenomena. Jika Freud menggunakan sistem symbol mimpi untuk merekonstruksi secara individu, ambisi strukturalis adalah untuk menafsirkan sistem symbol dalam mistos agar dapat merekonstruksi sejarah budaya. Untuk mencapai tujuan, Levi-Strauss menggunakan alusi singkat freud pada “dua trauma” mitos personal dan universal. Freud menyatakan bahwa “seorang anak tidak dapat menyelesaikan perkembangan sampai pada tahap beradab tanpa melewati masa neurosis (mitos neuritik individu) . . . yang kemudian diatasi secara sepontan (atau melalui psikoanalisis) …dengan cara yang sama, orang bisa berasumsi bahwa kemanusiaan secara keseluruhan, dalam perkembangan yang cukup lama, sampai pada situasi yang analog dengan neorisis tersebut… menimbulkan proses yang mirip dengan represi . Residu proses yang mirip dengan represi tesebut, yang terjadi  ratusan yang lalu, memiliki keterkaitan serta dengan peradapan …. Agama kemudian menjadi neorosis kemanusiaan universal (Kruzweil, 2004).
e)                  Levi-strauss menafsirkan tradisi lisan dalam masyarakat primitive sebagai satu model historis. Bagi dia sejarah direkonstruksikan setiap kali mitos disampaikan ulang atau ketika masa lalu dikumpulakan lagi. Sejarah bukan merupakan suatu rangakaian peristiwa  “objektif” yang terkait dengan era tertentu, namun dia ada didalam pertautan struktur mental yang terjadi pada satu “momen” tertentu. Dan menjadikan masa lalu sebagai bagian dari masa kini, teori Levi-Strauss memotong teori konvensional tentang kemajuan evolusi (Kruzweil,2004).
            Berdasarkan uraian pada enam poin diatas, tampak jelas bahwa  Levi-Strauss dalam menjelaskan berbagai manusia sosial budaya yang menjadikan objek kajianya menggunakan model penjelasan historis atau diakronik. Meskipun ia bukanlah seorang sejarawan namun dalam beberapa hal menggunakan prinsip—prinsip analisis historis dalam menjelaskan suatu permasalahan. Dalam hal ini jelas bahwa apa yang terjadi pada saat itu di suaatu masyarakat tidak dapat di lepaskan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Tugas seorang antropolog dan juga seorang etnografer dalam hal ini adalah merekonstruksinya  kembali tahapan-tahapan sejarah yang terjadi pada masa lalu.

G. Kata-Kata Kunci
Paradigma strukturalis dalam antropologis menyatakan bahwa struktur proses pemikiran manusia sama pada budaya dan proses mental ini berada pada proses oposisi biner seperti halnya panas/dingin, pria/wanita, kultur/nature, mentah/matang dll. Kaum strukturalis berpendapat bahwa oposisi biner tersebut direfleksikan di berbagai institusi budaya. Antropolog menemukan dasar proses di berbagai pemikiran terebut dengan menguji beberapa hal seperti kekerabatan , mitos, dan bahasa. Hal itu kemudian di proposisikan bahwa suatu relitas tersembunyi tetap bertahan di balik segala ekspresi budaya. Tujuan kaum structuralis adalah memahami makna yang terkandung dalam pemikiran manusia yang di eksresikan dalam tindakan budaya.
Selanjutnya pendekatan teoritis yang di tawarkan kaum strukturalis adalah bahwa unsur-unsur  budaya harus di pahami dalam terminologi hubungan-hubungannya dengan keseluruhan sistem. Poin ini menunjukan bahwa keseluruhan lebih besar bahwa dari pada bagian sebagaimana di anut oleh aliran psikologi Gestalt. Esensinya, elemen-elemen budaya tidak dapat di jelaskan dalam dan oleh dirinya sendiri, melainkan hal itu merupakan sebagian dari keseluruhan sistem yan penuh makna. Sebagai sebuah model analisis, strukturalisme mempunyai asumsi bahwa universalitas proses pemikiran manusia dipakai untuk menjelaskan “ struktur dalam ”(deepstruktur) atau makna yang menjadi dasar fenomena budaya. Strukturaalisme adalah seperangkat prinsip untuk memahami super struktur mental.
Pengaruh roman Jacobson terhadap teori-teori Levi-Strauss sebagaimana telah di uraikan pada bagian terdahulu sangat kuat. Perdesakan thesis-thesis yang telah di bangun oleh Jacobson, Levi-Strauss membuat asumsi bahwa “moda-moda ekspresi budaya lain selain bahasa sperti sistem kekerabatan,taksonomi, cerita rakyat, mitos dan sebagainya yang telah terorganisasi sebagai mana bahasa”. Thesis Jacobson yang di pakai Levi-Strauss dalam memulai karyanya adalah bahwa “dalam semua bahasa di dunia terdapat sistem oposisi kompleks antar fenom, yang tidak lebih dari elaborasi multi arah dari sistem yang lebih sederhana yang dikenal semua orang, yakni kontras antara vokal dan konsonan, melalui bekerjanya oposisi ganda antara kelompok dan menyebar , halus/lembut dan melengking, bunyi hidung atau mulut dan seterusnya. Sejak kecil anak-anak telah belajar membedakan baik vokal maupun konsonan berdasarkan keras-lembutnya suara (loudness). Jacobson menyebut taksonomi ini dengan “segitiga vokal” di satu sisi dan “segitiga konsonan” di sisi lain, seperti tampak dalam gambar berikut (Leach, 1973).
a
i
u
k
t
p
 





Jika kedua pola tersebut disatukan maka akan membentuk pola baru seperti berikut.
LEMBUT
NYARING
(Frekwensi  rendah)                  (Frekwensi tinggi)
POLA TITANIDA (PITCH)



a(k)
i(t)
u(p)
PADAT
MENYEBAR
LOUDNESS
(Energi bunyi)




            Dengan pola yang sama, Levi-Strauss menggunakannya untuk menganalisis pola kuliner masyarakat, i mana hasilnya adalah “segitiga kuliner”. Makanan yang dimasak dapat berasal dari makanan mentah segar yang ditransformasikan (elabore) dengan menggunakan benda-benda budaya, sementara itu makanan busuk adalah makanan mentah segar yang mengalami transformasi karena kekuatan-kekuatan alam. Jika dalam sistem fenom ada oposisi biner maka dalam sistem kuliner ini juga ada operasi biner yakni antara normal dan ditransformasikan, budaya/alam, yang keseluruhannya diinternalisasikan ke dalam eidos budaya manusia dimana pun (Leach, 1973).
BUDAYA
ALAM
MENTAH
DIMASAK BUSUK
DITRANSFORMASIKAN
NORMAL
(non elaborasi)
 




KONDISI MATERIAL MAKANAN

(derajat elaborasi)


H.      Jenis Realitas Sosoalyang Dikandung
     Apabila dilihat dari kajian-kajian yang telah dilakukan Levi-Strauss maka jenis realitas yang dikandung dalam teori strukturalisme Levi-Strauss adalah : fakta sosial yang objektif/empiris. Unit analisis penelitian-penelitian yang dilakukan Levi-Strauss dalam hal ini sama dengan Durkheim, yakni tingkat (level) makro. Ketika Durkheim meneliti fenomena bunuh diri yang terjadi di berbagai negara (masyarakat) maka jelas unit analisisnya adalah masyarakat (negara)itu sendiri sebagai suatu entitas. Dari hasil penelitiannya itu diperoleh kesimpulan bahwa di suatu masyarakat memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi dibandingkan  yang lain berdasarkan karakteristik sosial tertentu. Dalam disiplin sosiologi pola penarikan kesimpulan induktif seperti oleh sampel berlaku untuk keseluruhan populasi. Pendekatan penelitian seperti yang diperkenalkan Durkheim disebut pendekatan  kuantitatif dengan mengandalkan uji statistik untuk menarik kesimpulan.

I.     Linkup realitas social yang terkandung
            Lingkup realitas social yang terkandung dalam teori struktuarisme Levi – Strauss adalah faktor social yang bersifat makro. Sebagaimana halnya yang menjadi objek penelitian para funsionalis, struktrualisme Levi – Strauss berusaha memfokuskan diri pada pola-pola universal untuk menjelaskan realita social. Dalam beberapa hal menarik untuk membandingkan Parson sebagai representasi  funsionalisme dengan Levi – Strauss sebagai representasi struktrualisme. Seorang actor dalam melakukan tindakan, dalam perspektif personal menghadapi lima dilema universal, yakni: afektifitas versus netralitas afektif, spesifikasi versus peleburan, universalisme versus partikularisme, kualitas versus penampakan, orentasi diri versus orientasi kelompok. Dilema Levi – Strauss di sisi lain terletak dalam konteks mitos dan bahasa,  resolusi mereka muncul melalui pertautan antara struktur mental bawah sadar secara umum.
            Sementara itu, jika di bandingkan antara Levi – Strauss dengan Durkheim maka juga ada kemiripan. Jika Durkheim menganggap suatu fakta social itu bersifat sui generis,constraint, dan coercive, maka Levi – Strauss juga mengasumsi kan bahwa dalam masyarakat terdapat sesuatu tatanan struktual yang tidak di ketahui orang mampu mengarahkan semua variable social.

J. Lokus Aktor yang Otonom
            Struktualisme Levi – Strauss pada dasarnya mengabaikan peran individu dalam masyarakat “kematian subjek” merupakan selogan yang di alamatkan pada struktrualisme. “Subjek” dalam hal ini adalah agen-agen social, tindakan, dan kepribadian individu. Menurut teori ini bahasa manusia merupakan perancang dari pemikiran dan tindakan-tindakannya. Asumsi yang di kemukakan adalah bahwa manusia tidak menciptakan. Manusia adalah manusia boneka-boneka dari ide-idenya dan tindakan-tindakan mereka ditentukan oleh pilihan dan putusan tetapi merupakan hasil dari struktrul ide-ide pokok, individu tidak menciptakan masyarakat tetapi di ciptakan masyarakat.

K. Lokus Penjelasan Otonom
            Lokus penjelasan Levi – Strauss termasuk dalam kategori; “mind” yang menentukan “body”. Pernyataan ini di dasarkan pada pendapatnya Levi – Strauss sebagai berikut.
a)                  Dalam karyanya yang berjudul totunism, Levi – Strauss menyatakan bahwa pikirran manusia menkontruksi system-sistem signifikansi. Menurut Levi – Strauss, klasifikasi alamiah merupakan kontruksi pikiran. Dalam analisis terakhir, pikiran menciptakan spesies sebagai mana halnya totenisme. Perbedaan-perbedaan yang di ciptakan benar-benar ada di dalam alam. Dengan demikian, alam sebagai sebab terakhir, mendasari keduanya (Bradcock.2008).
b)                  Dalam karyanya yang berjudul  The Savage mind, Levi – Strauss menyatakan bahwa “pikiran liar” berjalan pada level kongkret, mengambil dari alam dan menerapkan terus menerus perangkat intelektual yang sama untuk menciptaknan system signifikansi. Dari alam, pikiran dapat memanfaatkan kode-kode indrawi kongkret, menggunakan oposisi logis yang sederhana antara panas/dingin, mentah/masak, berpakaian/telanjang, jantan/betina, kiri/kanan, basah/kering, hitam/putih dan seterusnya. Kode-kode seperti ini menciptakan system intelektual yang konpleks dan mengandung kohesi yang logis (Crack, 2008).
c)                   Menurut Levi – Strauss, apa yang dimaksud dengan “ pikiran “ tidak seperti “geits” pada perspektif Hegelian . Pikiran lebih dekat dianalogikan dengan computer dari pada dengan jiwa. Aktivitas pikiran dalam menciptakan dan mendengarkan mite – atau music , untuk masalah itu – lebih mirip seperti apa yang terjadi jika computer diberi program yang membuatnya mencetak semua kemungkinan permutasi dari deret hubungan artimetika . Jika kita selanjutnya membayangkan bahwa computer dapat membaca hasil cetakannya sendiri dan menarik kesimpulan – kesimpulan darinya, kita bisa melihat bahwa computer akan menemukan pola yang mendasari dalam “pesan–pesan tercetaknya yang sesuai dengan “kode” batinnya sendiri yang diprogramkan (Badcock, 2008).
      Sebagai contoh , mite Levi-Strauss adalah abstrak , tetapi abstraksi ini berasal dari “pemograman” structural dasar atas pikiran – yang dengan sendirinya merupakan objek alamiah . Jika pemograman ini diterapkan bagi alam, harmoni structural dan pencerminan timbal balik yang tidak terelakkan akan dihasilkan . Seperti halnya tetorisme, mite dipandang sebagai merefleksikan dua realitas seketika , realitas social dimana mite mengungkapkan hubungan antara berbagai aspek kehidupan social budaya dan realtias alamiah yang merefleksikan prinsip – prinsip fungsi dasar dari pikiran (Badcock, 2008 ).

L.  Asumsi tentang Individu dan Masyarakat
       Asumsi tentang individu dan masyarakat teori strukturalisme sangat dipengaruhi asumsi dari filsof Emmanuel Kant bahwa dunia di sekitar kita adalah produk dari ide – ide kita . Asumsi yang digunakan strukturalisme juga sama bahwa ide – ide yang kita miliki akan menghasilkan dunia yang kita lihat . Jadi , ketika Levi-Strarauss menegaskan telah memiliki struktur pokok dari sistem – sistem kekerabatan dalam masyarakat suku terasing dia sedang mengatakan bahwa telah menemukan struktur pokok dari termologi persahabatan , ide-ide yang dengannya masyarakat berbicara tentang persahabatan . Sama halnya dengan Durkheim , posisi Levi-Strauss sebagai seorang “kolektivis” dalam hal ini sangat jelas, dimana dia tidak melihat arti penting kedudukan individu dalam masyarakat . Fakta social bagi Durkheim adalah “hal-hal” dalam pengertian yang nyata, yakni sesuatu yang ada diluar subjektivitas terdekat kita , sesuatu yang memiliki eksistensi yang independen . Keika Levi-Strauss meneliti tentang system kekerabatan suku-suku terasing, tampak sekali bahwa factor social yang diteliti satu level dengan fakta social yang diteliti Durkheim, misalnya bunuh diri.
       Di satu sisi, Craib (1986) mendukung argumen Levi-Strauss dengan mengatakan bahwa orang yang berbeda pemikirannya benar-benar hidup dalam dunia yang berbeda. Akan tetapi , disatu lain menolak pandangan tersebut bahwa dalam kenyataannya dunia itu selalu memberikan perlawanan terhadap pemikiran – pemikiran ini dan hal itu juga menjadi suatu persoalan penafsiran satu terhadap yang lainnya. Strukturalisme dalam bentuknya yang ekstrem tidak menunjukkna perlawanan terhadap hal ini . Bagi Levi-Strauss , tidak menjadi masalah bahwa tingkah laku persahabatan berbeda dari apa yang dimaksud dalam terminology tentang persahabatan itu sendiri.

M.   Metode yang Digunakan
       Levi-Strauss agak berbeda dari kebanyakan antropologi lain yang melakukan penelitian lapangan secara eksistensi. Kebanyakan antropolog menghabiskan sebagian waktnya untuk menerbitkan data yang mereka peroleh dari pengalaman penelitian lapangan. Di lain pihak Levi-Strauss melakukan penelitian menggunakan metode yang berbeda. Struktrualisme menurutnya merupakan “tinjauan dari kejauhan” (The View From Afar ), dengan kata lain peneliti di pisahkan dari objek studinya. Pusat perhatian Levi-Strauss hampir tidak pernah berubah sepanjang masa karirnya, yakni mengungkap tatanan logika yang ada di balik segala kekayaaan dan keanekaragaman budaya manusia.
       Unit analisis yang digunakan dalam penelitian Levi-Strauss ada pada level makro (tingkat masyarakat). Apa yang di teliti Levi-Strauss tidak ubahnya seperti yang di teliti Durkheim, yakni fakta social yang bersifat makro. Data yang dikumpulkan merupakan data makro seperti  system kekerabatan, mite, atau symbol-simbol budaya pada masyarakat yang menjadi objek kajiannya. Data tersebut dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Metode seperti dilakukan ketika meneliti sistem kekerabatan masyarakat suku terasing, tetomisme, pemikiran liar (savage thought), dan lain-lain. Levi-Strauss sangat konsisten dengan metode ini dan menjadi ciri utama yang membedakan teoritisi lain baik antropologi yang menjadi bidang kajiannya maupun teoritisi social lainya. Asumsi yang di bangun dalam hal ini mirip dengan asumsi  Durkheim. Jika asumsi Durkheim mengasumsi masyarakat  sebagai organisme social. Dalam konteks ini, gejala  yang dipelajari  akan di pandang sebagai mahluk hidup yang terbangun dari berbagai macam unsur yang sering berhubungan secara fungsional satu sama lain sehingga terdapat saling pengaruh (interdepedensi).

N. Bias, Kepentingan, Ekonomi dan Politik
            Teori ini Levi-Strauss banyak diilhami kondisi kekacauan masyarakat eropa yang terjadi pada masa tahun 1930-1950. Meskipun tidak dinyatakan secara explicit, misi politik teori Levi-Strauss barangkali dapat di samakan dengan durhkheim, yakni meinginkan adanya suatu keteraturan social (social order). Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tertib. Secara tidak langsung Levi-Strauss mendukung kemampuan (status quo) kelas elit yang berkuasa pada saat itu.
O. Kesimpulan
            Secara umum sturuktualisme Levi-Strauss dapat di kelompokkan  sebagai collectivist theory. Unit analisisnya pada tingkat masyarakat, membuatnya menghasilkan peran dan kualitas individual dalam masyarakat. Levi-Strauss tidak terlepas dari pengaruh para pemikir besar sebelumnya seperti Durhkheim, Marx, Freud dan lain-lain. Meskipun mempunyai pengaruh yang luas dalam bidang-bidang kajian diluar antropologi, tetapi ketika iklim polotik di banyak Negara di penuhi nuansa pembebasan induvidu dalam segala bentuk penindasan maka paradigma struktrualisme ini hilang pengaruhnya.
            Saat ini paradigma struktrualisme kurang popular jika di bandingkan dengan post-struktrualisme maupun dekon struktrualisme. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan terutama kritik yang di alamatkan untuk teori ini yang di tuduh sebagai ahitoris dan terlalu deterministik sehingga mengakibatkan otoritas tindakan individu.






P. State of The Art
1. Marxisme Struktural
            Versi strukturalisme lainnya yang sangat sukses di Prancis (dan di banyak bagian dunia lainnya) adalah Marxisme strukturalis (Lechte,2005), terutama karya Louis Althusser (K. Tucker,2007), Nicos Poulantzas dan Maurice Godelier.
            Walaupun kami telah mengemukakan perkara bahwa strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam linguistik, terdapat sebagian kalangan yang berpendapat bahwa aliran pemikiran itu dimulai dengan karya Karl Marx:”Ketika Marx berasumsi bahwa struktur tidak sama dengan hubungan-hubungan yang kasat mata dan menjelaskan logika tersembunyi mereka, dia telah menandai mulainya tradisi strukturalis modern (Godelier,1972b:336). Walaupun Marxis struktural dan strukturalisme secara umum menempatkan perhatian mereka pada “struktur”, setiap aliran merumuskan struktur secara berbeda.
            Setidaknya, sebagian pemikir Marxis struktural memiliki kesamaan dengan para pemikir strukturalis dalam perhatian mereka pada studi atas struktur sebagai prasyarat pada kajian sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Maurice Godelier,”Studi terhadap fungsi struktur secara internal harus mendahului dan menjelaskan studi tentang penciptaan dan perkembangannya” (1972b:343). Dalam karyanya yang lain, Godelier mengatakan, “logika dalam sistem tersebut harus dianalisis sebelum asal mula mereka dianalisis” (1972a:xxi). Kesamaan pandangan lainyang dimiliki oleh para Marxis struktural dan strukturalis adalah bahwa strukturalisme harus memerhatikan struktur, atau sistem, yang terbentuk dari saling memengaruhi dalam hubungan sosial. Kedua aliran itu melihat struktur sebagai sesuatu yang nyata (meski tidak kasat mata), meskipun mereka sangat berbeda mengenai hakikat dari struktur yang mereka anggap nyata. Bagi Levi-Strauss, yang menjadi pusat perhatian adalah pada struktur pikiran, sedangkan, bagi para Marxis struktural, fokus mereka adalah pada struktur yang melandasi masyarakat.
            Barangkali, yang paling penting adalah fakta bahwa strukturalisme maupun Marxis struktural sama-sam menolak empirisisme dan menerima adanya perhatian pada struktur yang mendasari masyarakat. Godelier berpendapat: “Apa yang ditolak para pemikir strukturalis maupun Marxis struktural adalah definisi empiris dari apa yang dianggap sebagai struktur sosiall” (1972a:xviii). Selain itu, Godelier juga membuat pernyataan sebagai berikut.
Bagi Marx maupun Levi-Strauss, sebuah struktur bukanlah sebuah realitas langsung bisa terlihat, dan sehingga langsung dapat diamati, melainkan suatu tingkatan realitas yang ada melampaui hubungan antar-manusia yang langsung terlihat, dan beroperasinya adalah sebagai logika yang mendasari sistem, susunan tersembunyi di dasar yang digunakan untuk menjelaskan susunan yang tampak.
(Godelier,1972a:xix)
Godelier bahkan kemudian melanjutkan dan berpendapat bahwa pencarian seperti itu mendefinisikan semua ilmu pengetahuan: “Apa yang tampak adalah sebuah realitas yang menyembunyikan realitas lain yanng lebih dalam letaknya, yang tersembunyi dan penemuannya persis merupakan apa yang menjadi tujuan dari pemahaman ilmiah” (1972a:xxiv).
            Diluar kesamaan itu, Marxisme struktural tidak secara umum berpartisipasi dalam peralihan linguistik yang saat itu tengah berlangsung dalam ilmu sosial. Sebagai contoh, perhatian utamanya tetap pada struktur sosial dan ekonomi, bukan linguistik. Lagi pula, Marxisme struktural tetap dikaitkan dengan teori Marxis sebagaimana mereka dengan eksistensialisme.
2. Postrukturalisme
            Walaupun kecil kemungkinannya untuk menetukan secara tepat terjadinya suatu transisi, Charles Lemert (1990) menemukan permulaan postrukturalisme pada sebuah pidaro Jacques Derrida, seorang pelopor pendekatan tersebut yang sangat terkemuka, pada 1996 (Lipscomb,2007; J.Philips,2005). Dalam pidato tersebut, Derrida memproklamirkan terbitnya sebuah zaman postrukturalis baru. Berkebalikan dengan para strukturalis, terutama mereka yang mengikuti peralihan linguistik dan memandang masyarakat terikat oleh struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak membatasi subjeknya. Lebih lanjut, Derrida juga memandang institusi sosial bukan sebagai apa pun selain tulisan dan, dengan demikian, tidak dapat membatasi masyarakat. Dalam pengertian masa kini, Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996), dan ketika ia selesai, yang ditemukannya adalah tulisan. Meskipun fokusnya disini masih pada bahasa, tulisan bukanlah suatu struktur yang membatasi masyarakat. Lebih lanjut, jika para strukturalis memandang tatanan dan stabilitas dalam sistem bahasa, Derridan melihat bahasa bersifat tidak stabil dan tidak terata. Konteks yanng berbeda akan memberi suatu kata makna yangn berbeda pula. Sebagai akibatnya, sistem bahasa tidak memiliki kekuasaan yang membatasi atas masyarakat sebagaimana menurut para strukturalis. Lebih lanjut, sangatlah kecil kemungkinannya bagi para ilmuwan untuk mencari kaidah-kaidah dasar bahasa. Dengan demikian, Derrida menawarkan apa yang pada akhirnya menjadi sebuah perspektif dekonstruktif dan subversif. Sebagaimana akan kita lihat, subversi dan dekonstruksi bahkan menjadi lebih penting dengan lahirnya posmodernisme, dan tidak lain adalah postrukturalisme yang telah memberikan landasan bagi posmodernisme.
            Objek permusuhan Derrida adalah logosentrisme (pencarian atas sebuah sistem pikiran universal yang akan mengungkapkan apa yang nyata, benar, indah, dan seterusnya) yang telah sangat mendominai pemikiran sosial Barat. Pendekatan itu telah menyebabkan apa yang disebut Derrida sebagai “pengekangan dan pemasungan terhdap tulisan sejak Plato” (1978: 196). Logosentrisme tidak saja menyebabkan berhentinya filsafat, tetapi juga pada berakhirnya semua ilmu pengetahuan manusia. Derrida tertarik dalam mendekonstruksi, atau “melucuti”, sumber yang menyebabkan tulisn dari segala sesuatu yang menguasainya. Sebuah frasa yang tepat untuk menggambarkan fokus Derrida tersebut adalah “dekonstruksi logosentrisme” (1978: 230). Secara lebih umum, dekonstruksi melibatkan dekomposisi atau tindakan mengurai terhadap kesatuan guna menyingkap segala perbedaan yang tersembunyi (D.N. Smith, 1996:208).
            Sebuah contoh nyata yangn cukup baik untuk menggamabrkan pemikiran Derrida adalah pembahasannya tentang apa yang disebutnya sebagai “panggung kekejaman”. Ia menghadapkan konsep tersebut pada panggung tradisional, yang dalam pandangannya didominasi oleh sebuah sistem pemikiran yang disebutnya sebagai logika cerminan (logika serupa telah mendominasi teori sosial). Dengan kata lain, apa yang terjadi di panggung “mencerminkan” apa yang sedang terjadi dalam “kehidupan nyata”, maupun juga ekspetasi penulis, sutradara, dan sebagainya dari pertunjukkan tersebut. Logika cerminan itu atau kita bisa menyebutnya sebagai “representasionalisme” adalah tuhannya panggung pertunjukkan dan hal itu mengubah panggung tradisional menjadi teologis. Sebuah panggung teologis adalah panggung yang diperbudak oleh satu pihak, dikuasai:
Panggung menjadi teologis selama strukturnya, mengikuti keseluruhan tradisi, patu pada unsur-unsur sebagai berikut: seorang pencipta-penulis yang, meski tidak hadir dipanggung dan dari kejauhan, bersenjatakan sebuah teks dan terus mengawasi, menyusun, meregulasi waktu atau makna dari representasi... Ia membuat representasi mempresentasikan dirinya melaui sejumlah representatifnya, sutradara atau para aktor, memperbudak para penginterpretasi...yang...kurang lebih secara langsung mempresentasikan pikiran dari snag “pencipta”. Para budak interpretasi secara patuh melaksanakan desain yang telah ditetapkan sang “penguasa.” ...Akhirnya, panggung yang teologis mematuhi publik yang duduk dengan pasif , publik penonton, publik konsumer, publik penikmat.
(Derrida, 1978: 235, pemiringan ditambahkan)
            Derrida memimpikan sebuah tahapan alternatif (sebuah masyarakat alternatif?) tempat “tuturan akan berhenti menguasai panggung” (1978: 239). Dengan kata lain, panggung bukan lagi tempat berkuasanya penulis dan teks. Aktor tidak akan lagi menjadi pihak yang didikte; penulis bukan lagi seorang diktator atas apa yng ditampilkan dipanggung. Namun, itu tidak kembudian berarti bahwa panggung akan menjadi arena yang anarkis. Meskipun Derrida tidak terlalu jelas tentang tahapan alternatif yang ia bayangkan, kita akan menemukan petunjuk ketika ia membahas “konstruksi panggung yang keriuhannya belum dijinakkan menjadi kata-kata” (1978: 240). Atau, “panggung kekejaman akan menjadi seni perbedaan atau seni belanja tanpa ekonomi, tanpa ada keraguan, tanpa kembalian, tanpa sejarah” (Derrida, 1978: 247).
            Jelas bahwa Derrida menyerukan sebuah dekonstruksi radikal terhadap masyarkat secara umum, yang dalam penguasaan logosnetrisme. Sebagaimana keinginannya untuk membebaskan panggung dari kediktatoran penulis, Derrida juga inginmelihat masyarakat terbebas dari gagasan-gagasan semua otoritas intelektual yang telah menciptakan wacana yang dominan. Dengan kata lain, Derrida ingin melihat kita semua bebas untuk menjadi penulis.
            Yang secara implisit terkandung disini adalah bidang perhatian postrukturalis (dan juga posmodernis) lainnya yang juga dikenal secara luas peminggiran. Dalam suatu pengertian, Derrida menginginkan menjauhnya panggung dari “pusat” tradisolnalnya, yakni perhatian pada penulis (otoritas) dan ekspektasi mereka, dan memberikan lebih banyak kebebasan bermain kepada aktor. Pemahaman itu, juga, dapat digeneralisasikan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Derrida mengaitkan pusat itu dengan jawabannya dan, dengan demikian, pada akhirnya dengan kematian. Pusat tersebut dihubungkan denganketiadaannya yang sangat penting bagi Derrida: “permainan dan perbedaan” (1978: 297). Panggung atau masyarkat tanpa permainan dan perbedaan –yakni, panggung atau masyarakat yang statis –dapat dipandang mengalami kematian. Berlawanan dengan hal tersebut, panggung atau masyarakat yang tanpa sebuah pusat akan menjadi sangat terbuka, terus berkembang, dan merefleksikan diri sendiri. Derrida menyimpulkan bahwa masa depan kita untuk ditunggu kedatangannya ataupun dibangun kembali” (1978: 300). Yang ia maksud bahwa kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu dan tidka pula kita akan secara pasif menunggu datangnya nasib kita. Lebih tepatnya, masa depanadalah untuk dibangun, diciptakan, ditulis, dalam apa yang kita lakukan.
            Setelah membuktikan ketidakbenaran logosentrisme Barat dan otoritas intelektual, di akhir Derrida tidak memberikan jawaban kepada kita: pada kenyataannya tidak ada satu jawaban yang mutlak (Cadieux: 1995). Pencarian atas jawaban, pencarian atas logos, selama ini telah merusak dan meperbudak. Satu-satunya hal yang ia berikan adalah proses menulis, bermain peran, dengan permainan dan perbedaan.




3. Strukturalisme Piere Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Prancis. Bourdieu lahir pada tahun 1930 di  Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil selatan Prancis, lahir dari keluarga menegah ke bawah. Ayah Bourdieu adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Prancis. Dimana pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan atas. Disini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin merugikan golongan menegah ke bawah.
 Teori  Bourdieu lahir di jiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, disini kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau biasa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim ,Marx, Saussure dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik  dari keduanya. Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Untuk menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan dialektika antara struktural dan cara aktor membangun realitas sosialnya, Bourdieu memberikan nama pada orientasi pemikirannya sebagai “Strukturalisme Genetis”. Bourdieu mendefinisikan strukturalisme genetis dengan cara berikut:[1]
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (di mana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini).
            Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya.[2] Habitus berada di dalam pikiran aktor sedangkan lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar struktur. Dimengerti sebagai menjelaskan suatu pengetahuan/ pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa mengerti melalui bahasa yang kita pahami.

1.      Habitus
Habitus adalah struktur mental atau kognitif,[3] yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah, sebagai warisan dari masa lalu yang di pengaruhi oleh struktur yang ada.[4] Habitus sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu).[5]
Habitus dapat digambarkan sebagai hasil atau produk dari internalisasi struktur dunia sosial yang diwujudkan. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan berbeda-beda, tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut dalam kehidupan sosial. Sehingga seseorang yang menduduki posisi yang sama dalam dunia sosial, cenderung akan memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif.[6] Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain. Dengan kata lain, meskipun habitus sebagai warisan pengalaman masa lalu atau produk dari internalisasi struktur, dapat berubah-ubah sesuai dengan ranah di mana ia berada. Sebagai contoh, seorang warga Indonesia dan tinggal di Indonesia, memiliki kebiasaan untuk menolong sesama apalagi kalau orang lain tersebut dalam keadaan kesusahan, seperti terdapat kewajiban untuk menolongnya. Namun ketika warga Indonesia tersebut pindah dan tinggal di Luar Negeri yang memiliki struktur dan kebudayaan yang berbeda, dimana ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, kita tidak memiliki kewajiban untuk menolongnya. Habitus warga Indonesia tersebut dalam kasus ini dapat tetap seperti ketika ia masih di Indonesia yaitu menolong orang lain, atau juga habitusnya dapat berubah, yaitu dengan bersikap acuh dan tidak menolong orang tersebut.
Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” (strukturing strukture); artinya, habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak, habitus adalah “struktur yang terstruktur” (struktured strukture); yakni, habitus adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan kata lain Bourdieu menjelaskan habitus sebagai dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas.[7] Sehingga, di satu pihak, habitus diciptakan oleh praktik atau tindakan; di lain pihak, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial.
Menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus.[8] Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable).  Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu.[9] Logika tindakan Bourdieu (logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat konsep relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan di mana mereka berada.[10]
Kerja waktupun juga bisa mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Yang dimaksud kerja waktu disini adalah: habitus dan pengalaman praktek bisa berubah sesuai waktu dengan menggunakan logika.[11] Misalnya kondisi kebiasaan orang ketika berpakaian, orang jawa perempuan pada waktu dulu identik dengan penggunaan jarit dan kebaya, akan tetapi dengan berjalannya waktu, dan kondisi social sekarang ini, pakaian itu sudah jarang kelihatan untuk dipakai sebagai pakain keseharian. Namun sering dipakai ketika acara-acara adat tertentu seperti pakaian waktu hari kartini.
2.      Lingkungan (Ranah, Arena) atau Field.
Lingkungan merupakan dunia tempat melakukan permainan-permainan atau disebut juga dengan game. Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya. Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri.[12] Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas, terjadi sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat mengerjakan ujian dengan lancer, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang pengetahuannya.
Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.[13] Lingkungan juga adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting. Bourdieu mengemukakan tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan, yaitu:[14]
1)      Menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan dengan lingkungan politik.
2)      Menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu.
3)      Menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan mengkondisikan habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai.

3.      Keyakinan
Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau di anggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan dan memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah.[15] Contoh, dalam ranah pendidikan yaitu diskusi dalam kelas, ketika seorang murid  yakin telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahan diskusi, maka ketika diskusi berlangsung keyakinan bahwa ia memahami materi itu, mendorongnya untuk ikut aktif menyumbangkan pendapat dalam diskusi tersebut, sehingga di sini, keyakinan yang mendorong untuk melakukan praktek yaitu mengeluarkan pendapat.
Dalam kaitan contoh diatas, tubuhpun menjadi alat yang digunakan untuk melakukan praktek tersebut sesuai dengan keyakinan dalam dirinya. Ketika yakin bisa untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar, maka tubuh akan menggambarkan lewat gerak-geriknya yang mencerminkan praktek.


4.      Praktek
 Praktek merupakan salah satu konsep utama pilihan Bourdieu, sebagai konsep yang digunakan untuk menjelaskan konsepnya tentang penolakan terhadap dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Konsep praktek berarti bagaimana seseorang tersebut diberi stimulus kemudian akan melakuakan suatu respon. Dalam konsep Bourdieu tentang praktik, Bourdieu mengkritik tentang pandangan kaum objektivis yang menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan menentukan tindakan aktor dan membentuk lingkungan. Sehingga disini tindakan aktor tidak bebas melainkan terbatas. Begitu juga Bourdieu menolak terhadap pandangan kaum subjektivis yang menekankan bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur.
 Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Contohnya, dalam dunia perkuliahan, sistem pedidikannya menggunakan sistem kredit semester (SKS). Ketika seorang mahasiswa mengambil 24 SKS, maka sebagai konsekuensinya, setiap satu minggunya mahasiswa tersebut harus menyediakan waktu dan belajar sebanyak 72 jam atau rata-rata perharinya selama 10 jam. Struktur mempengaruhi  praktek mahasiswa tersebut, agar dia belajar sesuai dengan SKS yang dia ambil, tetapi mahasiswa juga bebas untuk melakukan prakteknya sesuai dengan habitusnya, misalnya dengan hanya belajar selama 3 jam saja setiap harinya.

5.      Struktur
Struktur adalah aturan-aturan yang terbentuk dan ada dalam suatu ranah yang mempengaruhi pembentukan habitus seorang aktor. Menurut Bourdieu, struktur terdiri atas dua bentuk yaitu struktur objektif dan struktur buatan. Dalam teori logika praktis Bourdieu, struktur dapat mempengaruhi pembentukan habitus, tetapi struktur  juga dapat di pengaruhi oleh habitus. Contoh struktur mempengaruhi habitus adalah, dalam masyarakat Jawa, terdapat aturan kalau makan dan memberi sesuatu kepada orang lain itu harus dengan menggunakan tangan kanan. Aturan ini membentuk habitus seseorang, ketika dia makan dan memberi kepada orang lain harus dengan tangan kanan (struktur membentuk habitus). Sedangkan contoh habitus mempengaruhi struktur adalah habitus seorang pelajar yang rajin, dia memiliki rutinitas belajar setiap sore dan malam hari. Ketika dia tidak melakukan itu, maka akan terjadi perasaan keganjilan, sehingga aktivitas belajar setiap sore dan malam hari membentuk sebuah struktur dalam hidupnya.
Dalam konsep strukturnya, bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarkat, struktur sangat dominan dalam mempengaruhi Agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi Agen juga bisa berperan dalam mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, akan tetapi tidak sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur. Struktur disini bersifat sebagai genetik/ bawaan.
 
STRUKTUR                                                                 AGEN

6.      Modal
Modal merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu ranah. Modal itu harus selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik.[16]
1)      Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
2)      Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Misalnya seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen.
3)      Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
4)      Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.
Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam sistem sosial. kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan.

7.      Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena kekerasan simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki modal simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan dan diterima publik secara luas. Legitimasi sebagai sebuah proses,  menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya merupakan hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya.
Modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki modal simbolik berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau yang lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekuasaan simbolik sering kali memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak mudah dikenali.[17] Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi seringkali merasa tidak keberatan untuk masuk kedalam sebuah lingkungan dominasi. Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik.[18]
Secara garis besar, kekerasan simbolik dapat diartikan sebagai kekerasan yang secara paksa mendapat kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki, menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu:[19]
1)      Eufemisasi: biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara “tak sadar”. Misalnya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Contoh: hubungan yang terdapat dalam sebuah keluarga antara anak dengan orang tua, dimana setiap mau keluar rumah, anak harus minta ijin kepada orang tua. Disini terjadi kekerasan simbolik eufimisme berdasarkan sopan santun.
2)      Sensorisasi: kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”. Seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya. Contoh, seorang laki-laki harus menghormati seorang perempuan, agar laki-laki tersebut dianggap memiliki moral yang tinggi dan memiliki nilai kesantunan (seorang laki-laki tidak melecehkan atau bertindak asusila terhadap perempuan).

Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik sangat perlu dilakukan dalam dunia pendidikan, agar pelaksanaan pendidikan semakin efektif. Karena itulah para pendidik dalam dunia pendidikan sering melakukan kekerasan simbolik kepada peserta didiknya agar peserta didik lebih disiplin. Contohnya, setiap pertemuan kelas, selalu diadakan kuiz atau ulangan oleh guru, sehingga membuat murid, baik secara suka atau tidak, sehingga menjadi mau tidak mau murid harus membaca dan belajar materi sebelum kelas berlangsung agar dapat mengerjakan soal kuiz.

8.      Kadar objektivitas dari subjektivisme
Dalam dunia sosial selalu terdapat orang yang mendominasi dan orang yang didominasi. Ini akan selalu terjadi selama ada bentuk relasi yang tidak setara (asimetris). Ilmu pengetahuan sosial, harus mempertimbangkan dua macam atribut yang secara objektif terlekat pada mereka, yaitu atribut materi dan atribut simbolik.[20] Atribut material dimulai dengan tubuh, yang dapat di lihat dan di ukur seperti benda lainnya dari dunia fisika.
Kadar objektivitas dan subjektivitas disini menurut Pierre Bourdieu, seberapa besarkah kadar objektivitas subjektivitas dari seorang manusia tersebut. Bagaimana ukuran tingkat objektivitas dari pandangan subjektivitas tiap masing-masing dari individu dalam menilai suatu fenomena.
DAFTAR PUSTAKA

Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Diterjemahkan oleh Alimandan. 2003. Teori Sosiologi Modern.  Jakarta: Prenada Media.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surbakti, Ramlan. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Surabaya: Aditya Media.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Edisi 11-12 (November-Desember). Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Basis.


[1] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 519.
[2] Ibid, hal: 522.
[3] Ibid.
[4] Pierre Bourdieu. 1990.  The Logic of Practice.  Atanford University Press: California.  Hal: 54.
[5] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 522.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal: 523.
[8] Ibid, hal: 524.
[9] Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice.  Atanford University Press: California.  Hal: 92.
[10] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 524.
[11] Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice.  Atanford University Press: California. Hal: 99
[12] Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 34.
[13] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 524.
[14] Ibid, hal: 525.
[15] Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice.  Atanford University Press : California.  Hal: 67.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal: 118.
[18] Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 38.
[19] Ibid, hal: 39
[20] Pierre Bourdieu. 1990.  The Logic of Practice. California: Atanford University Press. Hal:135.