Di
Indonesia penggunaan kata ataupun pilihan kata untuk menjelaskan sesuatu hal terlihat
sangat melebih-lebihkan makna kata atau seperti dalam majas biasa disebut hiperbola. Lihat saja kata seperti
Mahaguru, Guru Besar, Mahasiswa dan semacamnya. Contoh kata-kata tersebut
memang disengaja berkaitan dengan dunia pendidikan, mengingat kita salah satu
bagian dari dunia pendidikan itu dan juga mendapatkan labelling yang di lebih-lebihkan tersebut yakni “Mahasiswa”.
Seperti yang kita ketahui Mahasiswa merupakan seseorang yang melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Perguruan Tinggi. Dan ketika
seseorang sudah menduduki perguruan tinggi, secara otomatis status yang ia
miliki sebelumnya berubah dari ‘siswa’ menjadi ‘Maha-siswa’. Disinilah semuanya
mulai berubah, bergeser, meluas, dilebih-lebihkan dari labelling, status, strata, bahkan peran.
Kata ‘maha’ menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah segala-galanya dan kata ‘siswa’ mengandung pengertian
seseorang yang menuntut ilmu di bangku sekolah. Kedua kata tersebut memiliki
makna dan sifat yang berbeda antara satu sama lain. Yang satu menjelaskan
mengenai serba bisa, mampu segalanya, dan yang satunya mengenai status yang
diberikan karena perjuangan menuntut ilmu. Namun berbeda keadaan dengan luar
negeri. Kata student dalam Bahasa Inggris misalnya, menyamakan
antara siswa dan mahasiswa. Tidak ada pembedaan khusus untuk para siswa di
Perguruan Tinggi. Padahal Bahasa Inggris sekarang telah menjadi bahasa
internasional bukan. Baik siswa maupun maupun mahasiswa semuanya sama, dalam
satu label. Berbeda dengan
Indonesia.
Maha-siswa, kedua kata itu bergabung
dalam ruang yang bernama kampus, perguruan tinggi, dan/ Universitas. Dimana
untuk sampai ke Ruang ini membutuhkan pengorbanan otak, waktu, bahkan uang.
Untuk mendapatkan status ini harus melewati Sekolah Dasar, Menegah dan Tingkat
Atas. Belum lagi menghadapi tes tertulis, bersaing dengan ribuan orang lain,
menghabiskan banyak uang. Apalagi Ruang ini memiliki kualitas tinggi. Bukan
main lagi sang calon pemilik status berjuang dan berkorban bahkan orang tuanya
pun matian-matian mendukungnya. Hingga melakukan segala cara agar anaknya yang
tersayang mendapatkan status ini, mengecap ruang ini, mereka berjuang.
Menurut survei dari lembaga survei
ini (misalnya), sekian persen siswa yang Lulus SMA, hanya per sekian persen
yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan setiap pendaftar calon mahasiswa di
suatu universitas negeri hanya diterima per sekian persen saja. Dan menurut
pengalaman dan perkiraan, peluang pendidikan tinggi di Indonesia sangatlah
kecil. Apalagi dengan ketatnya persaingan penerimaan mahasiswa baru disetiap
universitas baik swasta apalagi negeri. Pantaskah semua perjuangan dan
pengorbanan itu mereka lakukan. Layakkah mereka mendapatkan status “mahasiswa”
tersebut setelah perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Atau
seberuntung apa hingga mereka bisa mengecap pendidikan tinggi dan bisa menjadi
“mahasiswa”. Sebegitu idamankah mereka menjadi “mahasiswa”. Dan ternyata
disinilah awal dari keberuntungan, kesempatan, perjuangan, pengharapan, dan
tanggung jawab. Saat inilah prosesnya. Mereka tidak, belum, dan akan
mengetahuinya.
Dalam perspektif masyarakat,
mahasiswa sejatinya memiliki ketinggian dan kedalaman ilmu. Mahasiswa memiliki
status yang lebih tinggi dari pada sekedar jadi siswa saja. Masyarakat
Indonesia menghargai apa yang dinamakan ‘berilmu’. Karena tidak semua
masyarakat yang berilmu pengetahuan sedalam mahasiswa. Wajarlah kalau mindset masyarakat terlalu
melebih-lebihkan mahasiswa. Karena masyarakat sangat menghargai dan menjunjung
tinggi mahasiswa bukan karena keberuntungan mengecap perguruan tinggi yang
mereka peroleh, namun karena ilmu, pemikiran kritis, solusi, penerus bangsa,
agen perubahan, dan hal lainnya yang mereka berikan label yang tentu saja “hiperbola”.
Selanjutnya mengenai peran mahasiswa
yang akhir-akhir ini setelah reformasi sering digemborkan. Mahasiswa adalah
agen perubahan, agen pengawas, dan generasi penerus bangsa. Mahasiswa yang
sangat berperan mengawasi pemerintahan saat ini. Bukankah era reformasi
tercapai salah satunya juga karena usaha besar dari mahasiswa. Hanya sekedar
mengawasi bukanlah hal yang sulit. Terlihat penyelewengan dalam pemerintahan
sedikit saja, bukankah mahasiswa bisa langsung turun aksi, membuat kritikan
pedas, sindiran bahkan banyak lagi yang bisa dilakukan mahasiswa dengan
keintelektualannya. Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa hanya perlu
meluluskan diri dari perguruan tinggi dengan IP bagus, masuk ke instansi
pemerintahan dan menjadi bagian didalamnya dengan tetap memegang nilai-nilai
idealisnya mahasiswa ke dalam praktek pemerintahan. Namun apakah itu mampu
dilakukan ?. Bukannya para aktor pemerintahan yang saat ini korup dulunya juga
pernah mengecap status ‘mahasiswa’. Antara idealis dan pragmatis kadang sangat
tipis sekali perbedaannya. Entahlah. Lain halnya dengan mahasiswa yang pasif.
Seperti hanya melakukan pengabdian masyarakat setahun sekali saat ospek atau
ketika KKN, atau pada saat hari-hari peringatan, bahkan menjadi mahasiswa yang
hanya cerdas dilingkungan kampusnya saja. Setelah pulang, berada di lingkungan
masyarakat sama seperti orang lain yang tidak mengecap perguruan tinggi. Ilmu
yang ia cari diperguruan tinggi tidak diimplementasikan kedalam kehidupan
bermasyarakat. Inikah mahasiswa itu ?. Bukankah mahasiswa itu kritis,
argumentatif, kreatif, solutif, dan memiliki wawasan luas. Sekarang mulai meragukan.
Untuk itu, hendaknya pengharapan
yang diinginkan masyarakat atas status dan peran yang mereka yakini terhadap
mahasiswa jangan sampai timpang. Begitu juga dengan mahasiswa, baik menerima
ataupun menolak label yang diberikan
oleh masyarakat kepada mereka, peran dan
fungsi tersebut harus tetap mereka jalankan. Itu karena memang beginilah
adanya. Konstruksi sosial telah membentuk mahasiswa yang seperti ‘ini’ dan
‘itu’. Sekarang tinggal si empunya status merealisasikan apa yang dicita-citakan
oleh orang tuanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan bahkan pemimpinnya. Jika
pada awalnya mereka berjuang untuk mendapatkan status sebagai “mahasiswa”
dengan mengorbankan apapun, berjuang hingga sedemikian rupa, maka setelah
menjadi “mahasiswa” pun lebih bisa berjuang serta berkorban untuk segalanya.
Bukankah mahasiswa agent of change, agent
of control and iron stock.
Setidaknya jangan jadikan itu semua hanya sebagai label, namun sebagai nilai, darah, jiwa, kewajiban, bahkan
perjuangan dalam pergerakan mahasiswa itu sendiri.[]