Sabtu, 14 September 2013

Efektifitas Implementasi Peraturan Daerah Batam No 24 Tahun 2004 Pasal 28”


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
            Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia terdapat pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang disebut sebagai Desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.Otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.[1]
            Kota Batam di Kepulauan Riau adalah salah satu kota yang memiliki otonomi daerah yang tercantum di Perda Kota Batam No.2 Tahun 2004 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam.[2] Dengan berlandaskan hukum tersebut, Pemerintah Kota Batam  membuat kebijakan-kebijakan dalam usaha pengembangan wilayahnya sesuai dengan potensi dan SDA yang dimiliki. Dengan letaknya yang strategis yaitu diperbatasan tiga Negara Indonesia-Singapura-Malaysia sudah tentu potensi utama di Batam adalah investasi dan industry. Apalagi dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam membuat Batam berpotensi besar untuk memasukan devisa bagi Negara.[3] Sehingga menjadikam Batam sebagai tempat  persinggahan perdagangan internasional, pangkalan minyak dan gas, pusat industry elektronik, serta industry alih kapal. Tak heran jika Batam menjadi incaran investor dalam negri maupun mancanegara.
           
Dalam pembangunan wilayah Batam yang sangat berpotensi ini, Pemerintah Kota telah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengenai peraturan perdagangan, peraturan industry, serta tata kota. Namun dalam implementasinya Pemerintah masih tidak tegas dengan hukum tang tidak kuat. Salah satu implementasi kebijakan yang saat ini banyak disoroti yaitu tentang Reklamasi Pantai di wilayah pesisir Batam yang tercantum dalam Perda Kota Batam No.2 Tahun 2004 Pasal 38 mengenai perlindungan kawasan indutri (industrial estate) dan pemusatan wilayah industry.
            Dalam Peraturan Daerah tersebut telah menjelaskan tentang lokalisasi kawasan indusrtri tersebut yaitu tepatnya di pesisir wilayah Batam.Padahal mata pencaharian masyarakat pesisir adalah nelayan.Dengan adanya lokalisasi industry di pesisir sudah barang tentu menyebabkan permasalahan bagi mereka.Dampak yang paling besar dari lokalisasi industry diwilayah pesisir ini yaitu dengan adanya reklamasi pantai. Reklamasi pantai adalah kegiatan di tepi pantai yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase. Namun karena reklamasi pantai yang berlebihan dan juga illegal, kerusakan ekosistem menjadi hal yang tak terelakkan. Pasalnya dengan adanya reklamasi pantai yang mengakibat biota laut termasuk terumbu karang serta ikan-ikan akan rusak dan berkurang. Pada akhirnya yang terkena imbasnya adalah masyarakat kecil yang dalam kasus inin adalah para nelayan.
            Industri-industri diwilayah pesisir yang pada umumnya adalah industri mesin, logam, perkapalan dan industry berat lainnya sangat tidak peduli akan lingkungan sekitar. Lihat saja walaupun mereka sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Kota atau Badan Pengawasan Kota Batam, namun masih banyak terkadi kecurangan-kecuranagn didalamnya.Pasir yang dikeruk entah dari daerah mana serta penimbunan pantai yang dilakukan seenaknya sendiri.Walaupun sudah memberikan uang ganti rugi kepada nelayan sekitar, nilainya tidak seberapa dengan ekosistem yang mereka rusak demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.Bahkan dalam kenyataannya, masih banyak reklamasi pantai yang illegal dimana Pemerintah Kota sebenarnya mengetahui namun seakan menutup matanya.Memang disatu sisi pengembangan industry di Batam sangat menuntungkan daerah maupun Negara. Namun jikalau kawasan industry yang berkembang tidak terbatas dan juga merusak ekosistem apakah masih bisa dikatakan membawa keuntungan bagi ekosistem ?
            Padahal teguran kepada Pemerintah Kota Batam oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Tjitjip Soetardjo tegas mengatakan, bahwa ia sudah memberi warning atau peringatan dini kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam, Kepulauan Riau, terkait dengan maraknya reklamasi pantai di kawasan ini. Sebab, kata menteri, jika reklamasi tanpa kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) justru akan berdampak serius terhadap lingkungan perairan dan kondisi sosial masyarakat.[4]
            Selain itu wilayah batam yang memang hanya sekitar 415 kilometer persegi atau 400.000 hektare (Ha). dengan kawasan hutan sekitar 23.430 hekatre atau sekitar 58,57 persen dari total daratan dan sekitar 20 persennya atau 4.600 hektare adalah hutan bakau.Dengan adanya reklamasi pantai juga menyebabkan punahnya Hutan Mangrove sekitar 80% dari ekosistemnya.Ini merupakan petaka yang amat besar bagi nelayan.Selain tempat berkembangbiaknya ikan-ikan hutan mangrove juga menahan pantai dari abrasi.Namun sepertinya baik Pemerintah maupun pihak Industri acuh tak acuh terhadap hal tersebut.Perizinan yang mudah dan reklamasi illegal tampaknya sudah sangat lumrah bagi mereka.Seakan-akan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat hanya sebagai symbol.Mereka hanya mengejar keuntungan dan kepentingannya sendiri.
            Melihat masalah diatas penulis tertarik untuk menyusun makalah tentang EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERDA BATAM NOMOR 24 TAHUN 2004 Pasal 38 tentang Lokalisasi Industri Berat seperti mesin, logam, perkapalan, dan industri berat lainnya.








I.2. Perumasan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industri;
2.      Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam  implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industri;
3.      Usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk mengatasi hambatan implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industri. 

I.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industri berdasarkan data informasi yang akurat;

2.      Untuk menjelaskan faktor- faktor penghambat implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industri berdasarkan data dan informasi;

3.      Untuk menjelaskan usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk mengatasi hambatan implementasi kebijakan Perda Kota Batam Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 38 tentang lokalisasi industry.




BAB II
TINJAUAN TEORI DAN EMPIRIS

II.1. Pengertian Kebijakan Publik
Di lingkungan Institut Ilmu Pemerintahan pada tahun 80-an abad yang lalu, pernah terjadi polemik akademik tentang terjemahan konsep policy dalam bahasa Indonesia. Perbedaan kebijakan dengan kebijaksanaan menurut Taliziduhu Ndraha (2003:249), Sebagai berikut :
Kebijakan yaitu pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi aktor atau lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.Sedangkan Kebijaksanaan ialah pilihan terbaik memecahkan masalah, berdasarkan hati nurani, secara etik dan moral.
Menurut Charles O. Jones dalam Winarno (2002:14), istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda.Istilah inisering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standar, dan proposal.
Secara umum, istilah “Kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjukkan prilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu. Organisasi-organisasi pemerintah selalu diwarnai oleh kegiatan-kegiatan pembuatan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam memberi solusi pada suatu masalah masyarakat yang luas.
Seorang pakar Ilmu Politik Richard Rose dalam Winarno (2002:15), menyarankan bahwa Kebijakan hendak dipahami sebagai :
“Serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubugnan beserta  konsekuensi-konsekuensinya  bagi  mereka  yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri”.


          William N. Dunn menyatakan kebijakan publik adalah suatu proses ketata pemerintahan dan administrasi pemerintah yang menghasilkan keputusan pemerintah, dimana instansi yang terkait mempunyai wewenang atau kekuasaan dalam mengarahkan masyarakat dan tanggung jawab melayani kepentingan umum.[5]
            David Easton (1953:129) mengemukakan bahwa:
 “Policy is the authoritative allocation of value for the whole society" (pengalokasian nilai-nilai secara paksa/sah pada seluruh anggota masyarakat).
Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik adalah juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Michael Howlet dan M. Ramesh (1995:11) menyatakan bahwa proses kebijakan public terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:
1. Penyusunan agenda ( agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah bias mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu prses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.





II.2. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Menurut Van Meter dan Van Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut :
Tindakan-tindakan (usaha) yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:65).
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut kamus Webster yang dikutip  oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).
Menurut Michael Howlett dan Ramesh (1995: 153) mengenai implementasi kebijakan, menerangkan bahwa :
 ” after a public problem has made its way to the policy agenda, various options have been proposed to resolved it, and goverment has made some choice among those options, what remains is putting the decision into practice”...the policy implementation is defined as the process whereby programs or policies are carried out; its denotes the translation of plans into practice” (setelah masalah publik ditentukan, maka itu merupakan jalan menuju agenda kebijakan, bermacam pilihan telah ditentukan untuk memecahkannya, dan pemerintah telah membuat beberapa pilihan dari alternatif tersebut, yang menempatkan keputusan menjadi pelaksanaan, ...implementasi kebijakan merupakan proses dari sebuah program atau kebijakan dilaksanakan ; yang ditandai dengan terjemahan dari rencana menuju pelaksanaan”.
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.

















II.3. Peraturan Daerah Kota Batam
Penetapan Batam sebagai Kawasan Industri terdapat pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 yang menjadi landasan perkembangan perindustrian di Batam. Selain itu, landasan mengenai Perindustrian di Batam berdasarkan dari:
1.     Kepmen Dalam Negeri No 43 Tahun 1977, Tentang Pengelolaan Dan Penggunaan Tanah Didaerah Industri Pulau Batam. Kepmen Pu No. 378/Kpts/1987, Lampiran No. 22, Tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota.
2.     Kepmen Perindustrian No. 291/ M / Sk /10 /1989, Lampiran No. 1, Tentang Standard Teknis Kawasan Industri.
3.     Perda Kota Batam No. 2 Tahun 2004,Lampiran 2, Tentang RTRW Kota Batam.
4.     Keputusan Ketua Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No.078/Ren/ Kpt8/W1994.
5.     Keputusan Ketua Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 046 /Ap-Kpts /III/1992
 Dalam Perda Kota Batam No.2 Tahun 2004 Pasal 38 mengenai perlindungan kawasan indutri (industrial estate) dan pemusatan wilayah industri menjelaskan bahwa:
 “Kawasan-kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dialokasikan di sejumlah kawasan, yaitu : Untuk industri mesin, logam, perkapalan, dan industri berat lainnya dialokasikan di Kawasan Industri Batu Ampar, Kawasan Industri Kabil - Telaga Punggur, Kawasan Industri Tanjung Uncang - Sagulung, Kawasan Industri Pulau Janda Berhias, dan di Kawasan Industri Sembulang - Pulau Rempang”.[6] 
            Selain itu terdapat peraturan-peraturan yang inheren dengan peraturan di atas. Peraturan-peraturan tersebut yaitu Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang RTRW Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014, yang meliputi tentang Perindustrian, Perlindungan Hutan, Pengelolaan Terumbu Karang. Dimana peraturan tersebut merupakan landasan dalam perlindungan ekosistem dimana sangat bertolak belakang dengan industry di Batam.

II. 4. Kawasan Industri Batam
Batam sebagai salah satu daerah industri yang cukup strategis, membuat keberadaan industri berkembang cukup pesat di Pulau Batam. Dengan letak yang geografis yakni berbatasan dengan Singapura dan Malaysia serta terletak di Selat Melaka yang merupakan jalur pelayaran sibuk di dunia, menjadikan Batam mempunyai nilai jual lebih serta tenaga kerja yang cukup dengan jumlah perusahaan mencapai ribuan perusahaan. Industri berat di Batam yang di dominasi oleh industri galangan kapal, industri fabrikasi, industri baja, industri logam dan lainnya, membuat industri ini kini semakin berkembang pesat di Batam. Selain tersedia bahan baku yang cukup, juga di dukung dengan tenaga kerja yang ada. Selain di dukung oleh infrastruktur yang ada, keberadaan Batam sendiri juga menjadikan industri ini menjadi daya tarik tersendiri.[7]
Laju pertumbuhan ekonomi Batam tiap tahun terus meningkat bahkan ketika pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 4,8% di tahun 2000, Batam sudah mencapai 7,6% atau meningkat 6,38% dari tahun sebelumnya. Hal ini tak lepas dari investor yang menanamkan modalnya. Diketahui bahwa 47% investor berasal dari swasta domestik, 33% merupakan swasta asing dan sisanya yaitu 20% berasal dari pemerintah. Sekitar 50% investor menanamkan modalnya di sektor industri yang dominasi berorientasi ekspor (70%), disusul sektor perdagangan dan jasa,perumahan, pariwisata, dan pertanian.
Industri di Batam terbagi menjadi industri berat dan industri ringan. Industri berat didominasi oleh industri galangan kapal, industri fabrikasi, industri baja, industri logam dan lainnya. Sedangkan industri ringan meliputi industri manufacturing, industri elektronika, industri garment, industri plastik dan lainnya.
 Kawasan Industri di Batam saat ini berkembang dengan pesat.  Dengan segala potensi dan kelebihan-kelebihan dari Kota Batam, maka dari itu Pemerintah Kota dalam membuat kebijakan-kebijakan haruslah tepat demi mewujudkan pembangunan nasional.Pemerintah harus pandai untuk membuat kebijakan dan mengimplementasikannya secara benar agar tujuan utama pengembangan daerah demi mewujudkan pembangunan nasional.kelestarian ekosistem wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya limbah domestik maupun limbah industri dan limbah B3, terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari pembukaan lahan untuk kegiatan perumahan, menurunnya populasi mangrove akibat reklamasi, cut and fill, menurunnya populasi terumbu karang akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, penambangan pasir ilegal, terjadinya pencemaran laut akibat tumpahan minyak dari kapal, serta pembersihan lambung kapal kegiatan konstruksi kapal yang ada di pesisir pantai wilayah Kota Batam dan sekitarnya (Bapedalda Batam, 2006).Perusakan dan kepunahan hutan bakau atau mangrove di Batam sudah pada tahap mengkhawatirkan.Setidaknya sekitar 80 persen dari luas hutan bakau di Pulau Batam rusak beserta ekosistemnya.Ironisnya, kerusakan ini diakibatkan tangan jahil pemerintah dan masyarakat. Data yang dihimpun koran ini, luas Dengan demikian, luas hutan bakau di pulau berbentuk kalanjengking ini telah mencapai 3.700 hektare.
Penyebabnya yakni adanya alih fungsi lahan untuk kawasan industri, perkantoran dan perumahan serta kegiatan masyarakat sendiri seperti pembuatan arang mangrove. Namun penyebab terbesar adalah reklamasi pantai yang dilakukan oleh perindustrian yang terletak didaerah pantai.


                                  
BAB III
 HASIL OBSERVASI DAN ANALISIS

III. Hasil Observasi dan Pembahasan (Analisis)
            Berdasarkan dari Peraturan Daerah maupun Peraturan Pusat mengenai lokalisasi industry ataupun peraturan perindustrian yang dikaitkan dengan beberapa data empiris di bab sebelumnya, dapat disimpulkan dalam imlementasi kebijakan lokalisasi industry di daerah pesisir oleh Pemerintah Kota Batam masih  tidak efektif mengingat meningkatnya kerusakan ekosistem laut serta berkurangnya hutan mangrove. Karena perindustrian di pesisir  sangat berpeluang melakukan reklamasi pantai. Walaupun alas an untamanya secara empiris luas lahan di Batam sangat minim, namun tidak layak dilakukan reklamasi pantai secara berlebihan hanya untuk mengembangkan lahan industry demi meraup keuntungan yang lebih besar.
Ditinjau dari hal tersebut maka Pemerintah Kota Batam dalam menjalankan implementasi kebijakan lokalisasi industry ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Pasalnya kebijakan tersebut sangat bertolak belakang dengan kebijakan mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove serta perlindungan terumbu karang yang telah terancum di bab sebelumnya. Ketiga peraturan daerah tersebut sangat berkaitan erat. Lokalisasi industry dikawasan pesisir pantai Batam sangat mengganggu ekosistem laut terutama batu karang dan menghilangkan ekosistem mangrove.
Sebenarnya bukan untuk menyalahkan berbagai pihak. Namun dapat dilihat bahwa Pemerintah dalam membuat kebijakan serta mengimplementasikannya masih belum maksimal. Apalagi melihat tujuan atau visi-misi Kota Batam yaitu menjadi Kota Madani ini sangat jauh dari harapan. Sebagai Kota percontohan hendak memberikan pengaruh-pengaruh positif pada lingkungan sekitar, bukan malah merusaknya. Di satu pihak memang tidak diragukan lagi masalah industry yang mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian di Batam sehingga membawa keuntungan-keuntungan materi yang menggiurkan. Namun di pihak lain masih banyak yang dirugikan atas lokalisasi industry ini, terutama para nelayan Batam. Mereka yang masih tradisional dalam penangkapan ikan, malah makin disusahkan akibat menurunnya ekosistem sumber daya laut di kawasan Batam baik ikan maupun terumbu karangnya.  
            Hambatan-hambatan yang dihadapi atas kurang maksimalnya kebijakan ini yaitu salah satunya kurangnya pengawasan Pemerintah Kota Batam terhadap permasalahan yang diakibatkan kebijakan ini. Selain itu Badan Pengawasan Dampak Lingkungan Batam (Bapedal) juga salah satu badan yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap pengawasan dampak lingkungan juga msih belum bekerja secara maksimal. Masih banyak praktek illegal reklamasi pantai yang belum bisa dihentikan. Akibat semakin hari semakin rusak lingkungan pesisir Kota Batam. Disisi lain tidak efektignya kebijakan ini juga dipengaruhi oleh perizinan perindustrian ataupun perizinan perluasan kawasan industry juga berpengaruh besar. Pasalnya jika perizinannya saja sudah sangat mudah, apalagi dengan penipuan atau penyelewengan perizinan tersebut. Bisa saja pihak industry memanipulasi data. Selain itu keegoisan individu untuk meraup keuntungan tanpa melihat resikonya menjadi pemicu awal dari semua. Hanya mementingkan kepentingan sendiri tanpa melihat penderitaan sekitar akibat ulahnya. Dengan ini sekarang diketahui bahwa yang menjadi dalang semua ini adalah para pemilik industry serta investor-investor bukan ?. Untuk itu seharusnya Pemerintah yang sekarang harus bekerja ekstra untuk menangani lemahnya hokum serta peraturan mengenai perindustrian di Batam.
             Pemerintah harus lebih tegas dalam mengambil tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam dunia perindustrian. Selain itu pengawasan terhadap perkembangan industry juga harus lebih diperketat. Pemerintah juga harus melihat serta menyempurnakan hukum serta peraturan terhadap perizinan, perluasan lahan, investasi, serta perkembangan perindustria. Perlu adanya konservasi lingkungan hidup serta membenahi kawasan yang sudah rusak akibat industry. Perlu adanya penanaman hutan mangrove kembali agar populasinya tidak punah. Dan Pemerintah bekerja sama dengan Bapedal maupun pihak industry dalam rangka pelestarian ekosistem pesisir dan ekosistem laut agar perlindungan ekosistem tetap terjaga.









BAB IV
Kesimpulan

IV.1. Kesimpulan
            Dalam implementasi Peraturan Lokalisasi Perindustrian di Kota Batam, Pemerintah Daerah masih belum efektif dalam penerapannya. Masih kurangnya pengawasan, lemahnya hokum, serta kurang jelasnya peraturan yang mengatur mengakibatkan Pihak Industri melanggar aturan. Selain itu dampak dari kebijakan lokalisasi industry di daerah pesisir ini juga menghasilkan banyak kerugian seperti hilangnya ekosistem hutan mangrove akibat reklamasi pantai serta menurunnya sumber daya laut akibat dari pencemaran industry itu sendiri.
            Untuk itu perlu adanya tinjauan kembali terhadap kelengkapan serta kejelasan peraturan serta ketegasan hokum terhadap Perkembangan Industri serta Perizinannya. Selain itu pengawasan serta penegakan hukum secara adil dan tegas  juga harus dilakukan secara maksimal. Agar tujuan utama kebijakan lokalisasi industry itu sendiri tercapai dengan baik tanpa adanya pihak-pihak yang dirugikan. Dan Pemerintah maupun industry juga harus bekerja sama untuk memulihkan kerusakan-kerusakan ekosistem akibat implementasi kebijakan yang tidak efektif. Sehingga dengan itu semua baik Pemerintah maupun Industri berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup sekitar.










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2000. Pengantar Analisi Kebijakan Publik. UMM PRESS: Malang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi
http://www.haluankepri.com/tajuk/29784-warning-reklamasi.html





Bentuk Pdf:
 http://www.dprd-batamkota.go.id/wp-content/uploads/2011/09/Perda-No-2-Th-2004-RTRW.pdf
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46849/2011wgu_pendahuluan%20(bab%201).pdf?seqence=6
http://www.dprd-batamkota.go.id/wp-content/uploads/2011/09/Perda-No-2-Th-2004-RTRW.pdf
http://batamkota.go.id/bisnis.php?sub_module=39&klp_jenis=348








[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi
[2]http://www.dprd-batamkota.go.id/wp-content/uploads/2011/09/Perda-No-2-Th-2004-RTRW.pdf
[3]http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46849/2011wgu_pendahuluan%20(bab%201).pdf?seqence=6
[4]http://www.haluankepri.com/tajuk/29784-warning-reklamasi.html
[5] Naihasy, Syahrin. 2006. Kebijakan Publik (Public Policy) menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Midi Pustaka. Hal 18
[6]http://www.dprd-batamkota.go.id/wp-content/uploads/2011/09/Perda-No-2-Th-2004-RTRW.pdf
[7] http://batamkota.go.id/bisnis.php?sub_module=39&klp_jenis=348

Evaluasi Kebijakan


Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975).  Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
            Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa dilakukan evaluasi. Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggung jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
            Menurut Winarno (2008:225) Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaliknya bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik. Pada dasamya, kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sabelumnya.
            Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih maksud atau  tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan.

EVOLUSI STUDI EVALUASI KEBIJAKAN
            Tidak seperti anggapan banyak orang, lingkar aktifitas-aktifitas studi evaluasi, utamaya yang terkait dengan kebijakan (policy evaluation study) yang kini arti penting keberadaannya telah beroleh kehormatan akademis meyakinkan, perkembangannya sebagai sebuah disiplin sebenarnya tidaklah mengikuti logika lompatan kuantum dalam hukum fisika yang amat cepat, melainkan terjadi secara evolutif menurut logika sosiologi yang normal. Maknanya, meski sampai saat ini bergerak maju, capaian kemajuan itu boleh dikatakan hampir tanpa diikuti oleh guncangan-guncangan pemikiran yang berarti. Konkretnya, kendati perjalanannya disana sini mengalami beragam interupsi, diantaranya yang terpenting berupa pergulatan epistemologis dan metodologis antara pemikiran baru dan lama yang memunculkan metoda/pendekatan teknis baru dalam bidang evaluasi, hal itu tidaklah secara otomatis mengakibatkan gugurnya  pemikiran yang lama.
            Tidak perlu diragukan lagi bahwa evaluasi yang kini keberadaannya telah melembaga (institutionalized) dan merupakan unit terpenting, serta bagian integral dari organisasi(publik, semi publik, atau privat) itu telah menjadi sebuah keniscayaan. Tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa pada tingkat perkembangan masyarakat dewasa ini, tidak ada organisasi modern apapun didunia ini (baik organisasi publik, semi publik atau parastal ataupun privat, entah skala kecil, menengah, lokal, nasional maupun internasional) yang mengemban misi sepenting pelayanan sosial (social service) atau pelayanan publik (publik service) yang kompleks mengabaikan perlunya unit evaluasi didalamnya. Dari segi disiplin keilmuan, evaluasi kini merupakan aktifitas yang tergolong amat serius, dilakukan secara professional, sistematik dan terencana, melibatkan orang-orang (evaluator) dengan keahlian khusus. Di sebuah institusi dan perguruan tinggi terkemuka di negara-negara Eropa seperti Belanda misalnya, evaluasi bahkan telah semenjak lama menjadi salah satu subjek studi andalan yang ditawarkan sebagai spesialisasi dan sub spesialisasi pada pendidikan pascasarjana setingkat Magister dan Doktor. Sebagai demikian, aktivitas penelitian evaluasi dan posisi evaluator sendiri adalah profesi prestisius, bukan lagi tergolong sebagai aktivitas yang hanya menjangkau hal-hal yang remeh temeh, bisa dilakukan oleh sembarang orang, apalagi secara sambil lalu.
            Dalam konteks praksis pemerintahan yang berlangsung di berbagai negara, penempatan secara terstruktur atau pengorganisasian evaluasi sebagai sebuah unit evaluasi tersebut ternyata tidaklah homogen, melainkan amat beragam, bukan saja negara dengan negara tetapi juga dalam ruang lingkup satu negara. Namun, dimanapun ia ditempatkan, satu hal kini menjadi semakin jelas. Evaluasi sebai unit dan bagian integral dari organisasi publik, akan selalu menduduki posisi strategis dan bergengsi. Dalam hal ini, tergantung pada persepsi, kebutuhan, politik, ideologi yang dianut dan pengorganisasian yang dianut oleh masing-masing pemerintahnya, ada yang mengatur unit tersebut secata tersentral dengan menempatkan pada posisi di level atas, seperti di kantor Perdana Menteri atau dikantor Kepresidenan, dikantor-kantor setingkat kementrian; dan ada pula yang mengatur secara tersebar dengan memposisikannya sebagai sebuah unit teknis yang mengemban fungsi administratif-managerial, termasuk dalam hal ini dikantor Sekretariat Jendral Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola pengorganisasian unit evaluasi yang berbeda-beda di negara inilah yang didalam kepustakaan evaluasi dikenal dengan istilah Evaluation Policy (kebijakan evaluasi).
            Dari mana asal muasal berkembangnya pemikiran studi evaluasi?
            Ditilik dari sejarah dan proses perkembangannya, studi dan praksis evaluasi, sebagaimana yang kita kenal, pikirkan dan pelajari saat ini mulanya adalah merupakan fenomena negara industri maju kawasan Anglo-Saxon, utamanya Amerika Serikat. Karena produk Amerika itulah maka, suka atau tidak suka, ia berakar dari tradisi, ideologi, politik, dan praksis akademik di Amerika Serikat. Sebelum pada akhirnya tersebar luas keseluruh penjuru dunia seperti sekarang, akar-akar intelektual yang mendorong makin tumbuh kembangnya tradisi akademis dan kebutuhan praktis untuk melakukannya penelitian berbentuk studi evaluasi (evaluative study) yang kritis, profesional, dan terencana secara sistematik yang diarahkan untuk menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan pemberian berbagai pelayanan publik (public service delivery) sebagai kita kenal sekarang sebenarnya bermula di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat mula-mula aktivitas penelitian itu untuk pertama kalinya diakui sebagai sebuah kebutuhan akademis dan dilakukan secara serius yang lambat laun terintegrasi ke dalam beragam studi ilmu-ilmu sosial seperti Sosiologi, Antropologi, Psikologi Sosial, Ilmu politik, Kebijakan Publik, dan tentu saja penerapannya yang intensif pada Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial. Masih di Amerika Serikat, barangkali mendahului dan melebihi negara-negara lain, eksistensi asosiasi keahlian profesional di beragam bidang evaluasi amat terjaga dengan baik dan berkembang pesat. American Evaluation Association (AEA), didirikan pada tahun 1962, merupakan organisasi profesional Amerika berwibawa di bidang penelitian evaluasi yang terkemuka sekaligus tertua di dunia. AEA mempunyai misi (mission) dan visi (vision) sebagai berikut :
            Misi :
            To improve evaluation practice and methods, increase evaluation use, promote evaluation as a profession and support the contibution of evaluation to be generatin of theory and knowledge about effective human acton
(untuk memperbaiki cara kerja dan metoda evaluasi, meningkatkan penggunaan evaluasi, mempromosikan evaluasi sebagai suatu profesi, dan mendukung sumbangsih evaluasi terhadap upaya pengembangan teori dan pengetahuan mengenai tindakan kemanusiaan yang efektif).
Visi :
To foster in inclusive, diverse, and international community of practice positioned as a respected sourceof information for and about the field of evaluation
(untuk menjaga tetap terpeliharanya sebuah komunitas profesional bertaraf internasional yang inklusif dan beragam yang mampu menjadi sumber informasi handal mengenai evaluasi).
            Di negara-negara atau sistem-sistem politik otoriter (authoritarian political system), eksklusivisme kebijakan publik memang sudah dapat dikatakan sebagai politcal trade mark atau kelaziman politik, ketimbang kekecualian. Dengan kata lain, hadirnya eksklusivisme kebijakan yang berarti pengabaian atau penafikan negara terhadap peran aktif publik sudah menjadi budaya politik dan plat form politik yang berlaku umum. Dalam sistem politik yang pola strukturnya monolitik seperti itulah eksklusivisme dipelihara secara sengaja dengan dikokohkan dengan pelbagai cara, diantaranya yang populer ialah dilakukan lewat pengembangan ideologi totaliter atau partai tunggal. Bagi sistem politik otoriter pengabaian partisipasi politik semacam itu bukanlah masalah besar, setidaknya untuk jangka pendek dan tengah. Sebab penguasa otoriter bisa saja, dengan alasan menjaga stabilitas politik ketertiban umum dan keamanan mengabaikan inklusivisme atas kebijakan-kebijakan mereka itu. Dengan cara demikian itu, praktis keseluruhan kebijakan itu akan hanya single colour, berwarna tunggal dan dijalankan melalui struktur pengendali politik monolitik demi terpenuhinya selera, prefensi, kepentingan dan ambisi politik sempit dari para penguasa semata, yakni pelanggengan kekuasaan mereka.
            Selanjutnya dengan bertumpu pada kekuatan pasif-represif yang dipunyainya (biasanya dalam bentuk kekuatan paramiliter, kepolisian dan militer),yang ditambah pengawal bersenjata setianya maka setiap saat para penguasa pada rezim-rezim otoriter dapat menggunakan kekuasaannya secara telanjang untuk menggulung para penentangnya. Artinya, mereka dapat mengabaikan ,mementahkan, menetralisasikan, serta menumpah secara brutal setiap bentuk gerakan masif yang berusaha menggoyang terhadap legitimasi kekuasaan atau pembangkangan terhadap kebijakan pemerintahnya. Contoh konkret masalah-masalah ini dapat terlihat di negara-negara Arab yang saat ini sedang bergolak seperti Syiria, Yordania, Oman, Libya dan lain-lain. Di Indonesia sendiri contoh eksklusufisme kebijakan yang kemudian melahirkan perlawanan dapat diikuti pada pembahasan mengenai konteks ekonomi-politik evaluasi di Indonesia masa orde baru.
            Sebaliknya, di negara-negara yang menganut sistem sistem demokrasi deliberatif, sistem yang mengakui hadirnya pluralitas nilai-nilai, pilihan tindakan politik semacam itu, selain memang tidak populer, juga mustahil dilakukan. Hal ini lantaran bisa menghasilkan efek politik berupa perlawanan, mulai dari yang lunak (misalnya kritik dari surat kabar, petisi, gerakan-gerakan protes, demonstrasi/unjuk rasa) hingga yang paling keras (misalnya pemberontakan senjata, separatisme) dari pihak lawan politik (oposisi) dan darikalangan masyarakat sipil dan dari pihak kekuasaan (the power holder). Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, kata dua pakar kebijakan Freweer dan Rowe (2005), making dicisions without public support liable to leadto confrontation, disapute, disruption, boycott, distrust and pubic dissatisfaction (membuat keputusan tanpa persetujuan/ dukungan publik akan dapat menyulut timbulnya konfrontasi, penentangan, pepecahan, boikot, ketidak percayaan dan ketidakpuasan publik).
            Dalam sistem politik demokrasi (liberal), kesukaan (dukungan/loyalitas) atau ketidaksukaan (penolakan/penentangan) publik kepada kebijaksanaan penguasa bisa hadir secara hampir bersamaan dan keduanya, dalam batas tertentu, merupakan sesuatu yang legal. Tidak mengherankan, bila satu saat lewat layar kaca di televisi kita bisa melihat betapa seorang pejabat tinggi pemerintah setingkat Menteri atau bahkan Perdana Menteri yang dilempari telur busuk oleh para pengunjuk rasa, misalnya larena berperilaku buruk atau kejinakannya dianggap berlawanan dengan kepentingan atau kepentingan publik. Fenomena seperti itu lumrah dan bisa terjadi, karena posisi tawar (bargaining position) publik, sebagai warga negara, dalam sistem politik demokrasi biasanya cukup tinggi sehingga pengabaian sekecil dan dalam bentuk apapun terhadap peran partisipasi publik dalam pembuatan/perumusan kebijakan dan evaluasi itu dalam jangka panjang bisa memunculkan resiko politik yang tidak kecil. Resiko politik yang dimaksud bukan hanya berupa akibat yang akan menyebabkan pemerintah tidak efektif memerintah, melainkan juga tergerogotinya sendi-sendi terdalam dari pemerintah itu sendiri. Hal ini bisa berupa melunturnya kepercayaan publik pada pemerintah yang, meminjam istilah pakar evaluasi kebijakan Sanford Borins (2008), disebut sebagai the erosion of trust in the goverment. Kalau melunturnya kepercayaan publik itu tidak segera memperoleh respon positif dari pihak pemerintah dengan mengubah secara substansial kebijakannya maka, ibarat sel kanker ganas, ia akan menimbulkan efek merusak yang kemudian akan meluas, menjalar ke berbagai segmen masyarakat. Memang, oleh penguasa diktator lawan-lawan politik atau musuh-musuh dalam negri bisa saja dijebloskan dalam penjara tanpa diadili, bahkan dibunuh dan, pada saat bersamaan,rakyat yang melawan bisa juga dibungkam. Tetapi, ini semua, cepat atau lambat, pasti akan harus dibayar mahal oleh siapapun yang berkuasa.


Fungsi Evaluasi Kebijakan
1.      Eksplanasi
            Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan aatau kegagalan kebijakan.
2.      Kepatuhan
            Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3.      Audit
            Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4.      Akunting
            Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Tujuan Evaluasi Kebijakan
1.      Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut. Mengukur efek menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang membandingkan efek dengan tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk mengukur keberhasilan
2.      Memperoleh informasi tentang  kinerja implementasi kebijakan dan menilai kesesuaian dan perubahan program dengan rencana
3.      Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan implementasi
4.      Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan lebih lanjut mengenai program di masa datang.
Alasan Evaluasi Kebijakan
  1. Kita tidak hidup dalam lingkungan yang serba pasti (incrementalisme).
  2. Untuk menentukan apakah tujuan di terapkannya suatu kebijakan/di laksanakannya suatu program tercapai atau tidak.
  3. Untuk mengambil keputusan apakah suatu kebijakan/program dilanjutkan, diperbaiki, atau dihentikan.
  4. Kecenderungannya sekarang masih terjadi ego sektoral.

            Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “evaluasi kebijakan”.  Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggung jawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan”.
            Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan menutup kekurangan.
           







Cara Evaluasi Kebijakan
            Proses evaluasi dalam bentuk umpan balik terhadap sistem yang demokratis dimana warga negara dan kelompok-kelompok dapat secara leluasa menyatakan pandangan mereka terhadap kebijakan-kebijakan beserta dampak-dampaknya dan memberikan suara mereka dalam pemilihan umum.
            Dengan prosedur evaluasi yang komprehensif dan objektif guna menilai kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tahapan Evaluasi Kebijakan
1.      Menemukan apa yang akan dievaluasi, dapat mengacu pada program kerja perusahaan. Biasanya yang diprioritaskan untuk dievaluasi adalah hal-hal yang menjadi KEY-SUCCESS FACTORS-nya.
2.      Merancang kegiatan evaluasi, menentukan terlebih dulu desain evaluasi agar dapat diketahui data apa saja yang diperlukan, tahapan kerja apa saja yang harus/akan dilalui, siapa saja yang akan dilibatkan, sehingga akan dapat tergambar apa saja yang dihasilkan.
3.      Pengumpulan data, berdasarkan desain yang telah disiapkan, pengumpulan data dapat dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
4.      Pengolahan dan analisis data. Data diolah untuk dikelompokkan agar mudah dianalisis dengan menggunakan alat analisis yang sesuai, sehingga dapat menghasilkan fakta yang dapat dipercaya. Selanjutnya dibandingkan antara fakta dengan harapan/rencana untuk mengetahui GAP.
5.      Pelaporan hasil evaluasi. Hasil evaluasi di dokumentasikan dan di informasikan kepada pihak yang berkepentingan.
6.      Tindak lanjut hasil evaluasi. Evaluasi merupakan salah satu bagian/fungsi dari manajemen. Oleh karena itu, hasil evaluasi hendaknya dimanfaatkan oleh manajemen untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi masalah manajemen, baik di tingkat strategi maupun di tingkat implementasi strategi.

PROSES EVALUASI
            Studi evaluasi dalam pandangan sosiolog van Dusseldorp (1990), dapat dibedakan berdasarkan 2 (dua) kriteria pokok: siapa yang melaksanakan studi evaluasi itu dan pada tahapan perencanaan pembangunan yang manakah evaluasi tersebut dilakukan.
            Siapakah yang melaksanakan studi evaluasi? Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi evaluasi yang dilaksanakan oleh orang-orang yang terlibat langsung dalam persiapan atau implementasi sebuah proyek, disebut sebagai evaluasi internal. Sedangkan evaluasi yang dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam persiapan aataupun implementasi proyek disebut evaluasi eksternal.
            Pada tahapan perencanaan pembangunan yang manakah studi evaluasi itu sebaiknya dilaksanakan? Kalau evaluasi itu berlangsung sebelum kegiatan tertentu dilaksanakan, maka evaluasi itu disebut evaluasi ex ante atau ada yang menyebutnya summative evaluation. Sedangkan jika evaluasi itu berlangsung sesudah kegiatan tertentu dilaksanakan, maka evaluasi itu disebut evaluasi ex post atau keadakalanya disebut formative evaluation. Evaluasi ex post paling tepat jika dilakukan dengan cara meninjau/mengkaji (to review) secara menyeluruh dan sistematik terhadap proyek yang ada. Ditengah-tengah kedua evaluasi ini ada yang disebut sebagai evaluasi interim (Van Dusseldrop, 1990). Dengan menggabungkan kedua kriteria diatas maka dapat dibedakan 14 (empat belas) tipe studi evaluasi (lihat Tabel 1)







Kapan
Siapa
Pada saat manakah kegiatan evaluasi berlangsung
13) evaluasi ex ante
Orang-orang yang terlibat dalam penyiapan dan implementasi obyek evaluasi
Orang-orang yang tidak secara langsung terlibat dalam penyiapan rencana dan implementasi obyek yang dievaluasi
EVALUASI EX ANTE
Sebalum persiapan proyek dimulai

Sebelum implementasi proyek dimulai
1)   Evaluasi ex ante internal berlangsung sebelum persiapan proyek (identifikasi)
2)     Evaluasi ex ante eksternal berlangsung sebelum persiapan proyek (identifikasi)
Sebelum implementasi proyek dimulai
3)   Evaluasi ex ante internal dilaksanakan sebelum implementasi proyek berlangsung
4)     Evaluasi ex ante eksternalberlangsung sebelum implementasi proyek (appraisal)
EVALUASI EX POST
Selama persiapan proyek
5)   Evaluasi interim internal terhadap persiapan proyek (termasuk monitoring)
6)     Evaluasi interim eksternal atas implementasi proyek
Evalusi proyek sedang berjalan
Selama persiapan implementasi proyek
7)   Evaluasi interim internal atas implementasi proyek
8)     Evalusi interim eksternal atas implementasi proyek
Evaluasi akhir
Sesudah persiapan rencana berlangsung
9)    Evaluasi akhir internal terhadap implementasi rencana
10)  Evaluasi akhir eksternal atas persiapan rencana (apprasial)
Sesudah implementasi rencana berlangsung
11) Evaluasi akhir internal terhadap implementasi rencana
12) evaluasi akhir eksternal atas implemantasi rencana
14) Evaluasi Ex post terhadap evaluasi (meta evaluation)
Sumber: Van Dusseldorp, Project Preparation and Implementation in Developing Countries,



















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2000. Pengantar Analisi Kebijakan Publik. UMM PRESS: Malang.
Abdul Wahab, Solichin. 2010. Reorientasi Evaluasi Kebijakan Publik dan Evaluasi Kritis Kebijakan Publik. UB PRESS: Malang.