Minggu, 06 Oktober 2013

Memahami Hiperbola-nya “Mahasiswa”



Di Indonesia penggunaan kata ataupun pilihan kata untuk menjelaskan sesuatu hal terlihat sangat melebih-lebihkan makna kata atau seperti dalam majas biasa disebut hiperbola. Lihat saja kata seperti Mahaguru, Guru Besar, Mahasiswa dan semacamnya. Contoh kata-kata tersebut memang disengaja berkaitan dengan dunia pendidikan, mengingat kita salah satu bagian dari dunia pendidikan itu dan juga mendapatkan labelling yang di lebih-lebihkan tersebut yakni “Mahasiswa”. Seperti yang kita ketahui Mahasiswa merupakan seseorang yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Perguruan Tinggi. Dan ketika seseorang sudah menduduki perguruan tinggi, secara otomatis status yang ia miliki sebelumnya berubah dari ‘siswa’ menjadi ‘Maha-siswa’. Disinilah semuanya mulai berubah, bergeser, meluas, dilebih-lebihkan dari labelling, status, strata, bahkan peran.
            Kata ‘maha’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala-galanya dan kata ‘siswa’ mengandung pengertian seseorang yang menuntut ilmu di bangku sekolah. Kedua kata tersebut memiliki makna dan sifat yang berbeda antara satu sama lain. Yang satu menjelaskan mengenai serba bisa, mampu segalanya, dan yang satunya mengenai status yang diberikan karena perjuangan menuntut ilmu. Namun berbeda keadaan dengan luar negeri. Kata student  dalam Bahasa Inggris misalnya, menyamakan antara siswa dan mahasiswa. Tidak ada pembedaan khusus untuk para siswa di Perguruan Tinggi. Padahal Bahasa Inggris sekarang telah menjadi bahasa internasional bukan. Baik siswa maupun maupun mahasiswa semuanya sama, dalam satu label. Berbeda dengan Indonesia. 
            Maha-siswa, kedua kata itu bergabung dalam ruang yang bernama kampus, perguruan tinggi, dan/ Universitas. Dimana untuk sampai ke Ruang ini membutuhkan pengorbanan otak, waktu, bahkan uang. Untuk mendapatkan status ini harus melewati Sekolah Dasar, Menegah dan Tingkat Atas. Belum lagi menghadapi tes tertulis, bersaing dengan ribuan orang lain, menghabiskan banyak uang. Apalagi Ruang ini memiliki kualitas tinggi. Bukan main lagi sang calon pemilik status berjuang dan berkorban bahkan orang tuanya pun matian-matian mendukungnya. Hingga melakukan segala cara agar anaknya yang tersayang mendapatkan status ini, mengecap ruang ini, mereka berjuang.
            Menurut survei dari lembaga survei ini (misalnya), sekian persen siswa yang Lulus SMA, hanya per sekian persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan setiap pendaftar calon mahasiswa di suatu universitas negeri hanya diterima per sekian persen saja. Dan menurut pengalaman dan perkiraan, peluang pendidikan tinggi di Indonesia sangatlah kecil. Apalagi dengan ketatnya persaingan penerimaan mahasiswa baru disetiap universitas baik swasta apalagi negeri. Pantaskah semua perjuangan dan pengorbanan itu mereka lakukan. Layakkah mereka mendapatkan status “mahasiswa” tersebut setelah perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Atau seberuntung apa hingga mereka bisa mengecap pendidikan tinggi dan bisa menjadi “mahasiswa”. Sebegitu idamankah mereka menjadi “mahasiswa”. Dan ternyata disinilah awal dari keberuntungan, kesempatan, perjuangan, pengharapan, dan tanggung jawab. Saat inilah prosesnya. Mereka tidak, belum, dan akan mengetahuinya.
            Dalam perspektif masyarakat, mahasiswa sejatinya memiliki ketinggian dan kedalaman ilmu. Mahasiswa memiliki status yang lebih tinggi dari pada sekedar jadi siswa saja. Masyarakat Indonesia menghargai apa yang dinamakan ‘berilmu’. Karena tidak semua masyarakat yang berilmu pengetahuan sedalam mahasiswa. Wajarlah kalau mindset masyarakat terlalu melebih-lebihkan mahasiswa. Karena masyarakat sangat menghargai dan menjunjung tinggi mahasiswa bukan karena keberuntungan mengecap perguruan tinggi yang mereka peroleh, namun karena ilmu, pemikiran kritis, solusi, penerus bangsa, agen perubahan, dan hal lainnya yang mereka berikan label yang tentu saja “hiperbola”.
            Selanjutnya mengenai peran mahasiswa yang akhir-akhir ini setelah reformasi sering digemborkan. Mahasiswa adalah agen perubahan, agen pengawas, dan generasi penerus bangsa. Mahasiswa yang sangat berperan mengawasi pemerintahan saat ini. Bukankah era reformasi tercapai salah satunya juga karena usaha besar dari mahasiswa. Hanya sekedar mengawasi bukanlah hal yang sulit. Terlihat penyelewengan dalam pemerintahan sedikit saja, bukankah mahasiswa bisa langsung turun aksi, membuat kritikan pedas, sindiran bahkan banyak lagi yang bisa dilakukan mahasiswa dengan keintelektualannya. Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa hanya perlu meluluskan diri dari perguruan tinggi dengan IP bagus, masuk ke instansi pemerintahan dan menjadi bagian didalamnya dengan tetap memegang nilai-nilai idealisnya mahasiswa ke dalam praktek pemerintahan. Namun apakah itu mampu dilakukan ?. Bukannya para aktor pemerintahan yang saat ini korup dulunya juga pernah mengecap status ‘mahasiswa’. Antara idealis dan pragmatis kadang sangat tipis sekali perbedaannya. Entahlah. Lain halnya dengan mahasiswa yang pasif. Seperti hanya melakukan pengabdian masyarakat setahun sekali saat ospek atau ketika KKN, atau pada saat hari-hari peringatan, bahkan menjadi mahasiswa yang hanya cerdas dilingkungan kampusnya saja. Setelah pulang, berada di lingkungan masyarakat sama seperti orang lain yang tidak mengecap perguruan tinggi. Ilmu yang ia cari diperguruan tinggi tidak diimplementasikan kedalam kehidupan bermasyarakat. Inikah mahasiswa itu ?. Bukankah mahasiswa itu kritis, argumentatif, kreatif, solutif, dan memiliki wawasan luas. Sekarang mulai meragukan.
            Untuk itu, hendaknya pengharapan yang diinginkan masyarakat atas status dan peran yang mereka yakini terhadap mahasiswa jangan sampai timpang. Begitu juga dengan mahasiswa, baik menerima ataupun menolak label yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka,  peran dan fungsi tersebut harus tetap mereka jalankan. Itu karena memang beginilah adanya. Konstruksi sosial telah membentuk mahasiswa yang seperti ‘ini’ dan ‘itu’. Sekarang tinggal si empunya status merealisasikan apa yang dicita-citakan oleh orang tuanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan bahkan pemimpinnya. Jika pada awalnya mereka berjuang untuk mendapatkan status sebagai “mahasiswa” dengan mengorbankan apapun, berjuang hingga sedemikian rupa, maka setelah menjadi “mahasiswa” pun lebih bisa berjuang serta berkorban untuk segalanya. Bukankah mahasiswa agent of change, agent of control and iron stock. Setidaknya jangan jadikan itu semua hanya sebagai label, namun sebagai nilai, darah, jiwa, kewajiban, bahkan perjuangan dalam pergerakan mahasiswa itu sendiri.[]

Tidak ada komentar: